Tidak ada satu jawaban pun yang pasti, karena mengatasi kesepian itu bisa jadi rumit. Sangat sulit menghilangkan sesuatu yang memang sudah menjadi bagian dari hidup itu sendiri. Tetapi beberapa langkah kecil dan proaktif dapat membantu kita merasa lebih baik.
Apa yang saya lakukan ketika perasaan kesepian mencekik, adalah dengan menyibukkan diri. Sekarang Anda tahu, mengapa saya menulis artikel ini?
Karena saya sedang merasa kesepian. Jadi saya coba sibuk menulis untuk melawan rasa kesepian. Sebuah plot twist yang mencengangkan!
Dan dengan cara ini, kesepian menjadi cara saya untuk lebih produktif. Kesepian memicu timbulnya rasa bosan, dan saya cinta kebosanan. Ide-ide kreatif itu lahir dari kebosanan.
Sebenarnya terjadi sebuah paradoks di sini: Berusaha terlalu keras untuk menghilangkan rasa kesepian, sering kali menimbulkan efek kesepian yang lebih dalam. Karena segala sesuatu yang terlalu dikekang, justru secara paradoksal, kita semakin tersiksa karena usaha penyelamatan kita sendiri.
Semakin keras usaha Anda melupakan sesuatu, semakin Anda mengingatnya. Begitu pun rasa kesepian.
Inilah titik pentingnya: menyadari terjadinya Paradoks Kesepian.
Kesepian bukan diukur dengan jumlah waktu yang kita habiskan sendirian, melainkan oleh bagaimana perasaan kita tentang waktu yang kita habiskan sendirian.
Kita semua benci mengakui rasa kesepian, tetapi kita harus mengakuinya. Dan dari pengakuan itu, bagaimana ia bisa menjadi sesuatu yang berguna? Renungkan itu, karena saya ingin rasa kesepian semua orang bisa menjadi sesuatu yang bermakna.
Saya telah menemukan jawaban versi saya sendiri, bahwa rasa kesepian hanyalah bentuk lain dari kebosanan. Maka kebosanan adalah sebuah alarm untuk saya berbuat sesuatu. Begitulah saya menjadi produktif dari rasa kesepian.
Saya mengakui bahwa media sosial bersifat adaptif. Itu bisa menjadi sumber atau pun solusi dari rasa kesepian kita.