Sekali pun anak seorang pangeran, dia tak akan malu untuk berteman dengan seorang yang miskin melarat. Bahkan walaupun fisiknya sangat tak setara. Jika ada anak yang memilih-milih dalam berteman, itu bukan dari hatinya. Adalah pengaruh orang tuanya atau lingkungannya yang membuat seorang anak pilih-pilih dalam berteman.
Aku rindu masa-masa itu. Aku bisa berteman dengan siapa pun saat itu. Mereka menerimaku apa adanya. Sekarang, aku hampir tak pernah keluar rumah. Aku punya banyak teman; atau mungkin pernah punya teman. Namun mereka berteman dengan syarat. Setidaknya tidak semua (mungkin).
Aku merasa sangat sulit untuk mencari teman sekarang ini. Sungguh! Anda boleh saja menertawakan ini (karena memang sangat konyol), tapi aku berkata apa adanya. Berteman dengan lelaki selalu membawaku pada sesuatu yang "merusak". Berteman dengan perempuan dianggap mau modus. Ambyar!
Pertemanan penuh syarat sangat menyebalkan. Mungkin tidak saat ini.
7. Pantang menyerah
Sekali peristiwa, keponakanku baru akan mulai berjalan. Dia belajar berjalan dengan api semangat yang berkobar. Tak peduli sudah berapa kali dia terjatuh, dia tetap bangkit dan memulainya dari awal. Tidakkah itu sesuatu yang fantastis?
Kita tak lagi sama. Seiring bertambah tua, semakin kita cinta dengan sesuatu yang instan. Banyak orang yang menjadi sukses bukan dengan menjalani "hukum alam". Mereka memilih jalan pintas, tetapi "jalan pintas itu ambyar"!
Barangkali Anda tak akan kagum pada seorang teman yang pintar dalam segala hal, jika untuk itu, dia tidak berusaha mendapatkannya.
Aku lebih menghargai temanku yang "bodoh" dan berusaha untuk belajar ketimbang mereka yang pintar secara "instan".
Dengan semua alasan itu, aku cukup khawatir menjadi dewasa; suatu kerinduan untuk kembali ke alam jiwa anak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H