Dan mereka pun jujur kepada perasaannya. Ketika mereka bersedih, mereka menangis. Ketika mereka bahagia, mereka tertawa. Tidak ada yang bersedih, lalu bersembunyi di balik "topeng tawa". Hanya orang-orang dewasa sepertiku yang demikian.
Itu benar, bahwa dalam situasi tertentu, dusta bisa menyelamatkan sebuah hubungan; dan jujur menghancurkannya. Tetapi bagi mereka yang bijaksana, kejujuran bukanlah sebuah pilihan; itu mutlak. Maka biarkan sisanya mengalir seperti air, boleh jadi kita tak tahu bahwa semuanya akan selalu berakhir baik.
Masalah sebesar apa pun yang tercipta dari kejujuran, itu tidak apa; sepertinya kita lupa, bahwa kita punya Tuhan Yang Maha Besar.
4. Cepat melupakan masalah dan memaafkan
Keponakanku sangat sering berebut mainan dengan keponakanku yang lain. Mereka benar-benar menjengkelkan sekaligus manis saat bertengkar. Salah satu menangis, yang lain mengadu pada ibunya.
Tetapi yang membuatku amat-sangat iri, adalah mereka sangat mudah untuk memaafkan. Rasanya tak ada dendam apa pun sekali pun mereka terlibat dalam perang dunia. Mereka begitu lugu, tak menghiraukan masalah yang ada, dan sangat lapang dalam memaafkan.
Lain halnya dengan kita; seseorang menyenggol tak sengaja pun bisa menimbulkan perang adu mulut. Sungguh menyedihkan!
5. Tidak minder atau insecure
Tidak ada generasi yang lebih sering merasa minder dibanding generasi kita sekarang. Sedikit banyak, media sosial berpengaruh besar dengan "skandal" ini. Ketika membuka beranda media sosial, kita mendapati seorang teman dengan piala besar di sampingnya, sebagian yang lain menunjukkan paras menawannya, dan sebagian yang lain membanggakan tabungannya.
Begitulah Paradoks Kemajuan terjadi: semakin sejahtera dan kaya raya penduduk dari tempat yang kita tinggali, semakin mungkin kita melakukan bunuh diri.
Aku tak terkecuali dalam hal ini. Memang sudah menjadi sifat alamiah orang dewasa, bahwa kita tak ingin terkalahkan. Dan jawaban dari kekalahan itu adalah rasa minder atau insecure.
Anak-anak tidak demikian. Mereka selalu percaya diri untuk pergi bermain dengan siapa pun. Mereka tidak mempersalahkan tubuhnya, bagaimana wajahnya, atau penampilannya.
Dulu, aku berjalan tanpa masalah dengan rambut belah dua. Meskipun terlihat konyol, tapi itu tidak apa. Dan hingga sekarang, aku tak begitu peduli dengan parasku. Sering pula aku tertawa saat menatap wajahku sendiri di cermin. Mereka bilang aku cukup jelek; mana ada! Aku merasa inilah rupa sempurnaku dari-Nya.