Aku memandang setiap orang hampir selalu berdasarkan paradigma yang ada dalam diriku. Pandanganku tentangnya yang memiliki sifat nakal dan jahil adalah sesuatu yang dihasilkan dari pengalamanku dan itu menjadi paradigma dalam diriku; bahkan setelah bertahun-tahun lamanya.
Dalam pengertian yang umum, paradigma adalah cara kita "melihat" dunia - bukan berkaitan dengan pengertian visual dari tindakan melihat, melainkan berkaitan dengan persepsi, mengerti, menafsirkan.
Kita masing-masing cenderung berpikir bahwa kita melihat segala sesuatu sebagaimana adanya; bahwa kita sudah obyektif. Namun pada kenyataannya, tidak demikian.
Kita melihat dunia, bukan sebagaimana adanya, melainkan sebagaimana kita adanya - atau sebagaimana kita terkondisikan untuk melihatnya.
Ketika kita membuka mulut untuk menjabarkan apa yang kita lihat, kita sebenarnya menjabarkan diri kita, persepsi kita, paradigma kita sendiri.
Ketika orang lain tidak setuju dengan kita, kita segera berpikir pasti ada sesuatu yang salah dengan mereka. Namun, orang yang tulus dan berpikiran jernih melihat segala sesuatunya secara berbeda, masing-masing melihat melalui lensa unik pengalamannya.
Dan ini tidak berarti bahwa fakta itu tidak ada. Tetapi, setiap orang memiliki "kacamatanya" masing-masing.
Tidak semua perubahan paradigma memiliki arah yang positif. Akan tetapi, entah perubahan paradigma mengubah kita ke arah yang positif atau negatif, entah bersifat spontan atau bertahap, perubahan paradigma menggerakkan kita dari satu cara melihat dunia ke cara yang lain.
Dan perubahan paradigma tersebut menghasilkan perubahan yang kuat. Paradigma kita, benar atau salah, adalah sumber dari sikap dan perilaku kita, dan akhirnya sumber dari hubungan kita dengan orang lain.
Di awal masa remaja, aku memandang kesuksesan sebagai sebuah kebahagiaan yang tak berujung. Karenanya, aku memiliki tekad kuat untuk menjadi "A", berharap itu akan membantuku. Narasi di luar juga "menyuapiku" dengan berita-berita kesuksesan yang tampak begitu fantastis.
Ternyata tidak demikian!