Saya belum pernah menjumpai seseorang yang perfeksionis bisa hidup dengan tenang. Seseorang yang perfeksionis merasa sifatnya itu dapat membuat dia menjadi seseorang yang lebih baik. Namun kenyataannya, sifat perfeksionis hanya akan mendatangkan bahaya.Â
Bagaimana pun juga, semakin mencoba untuk menjadi sempurna, semakin kita merasa buruk. Dunia yang kita tinggali pun tidak memungkinkan adanya kesempurnaan. Siapa kita, ingin menyaingi Tuhan Yang Maha Sempurna?
Kebutuhan untuk menjadi sempurna dan keinginan untuk mendapatkan ketenangan batin merupakan dua hal yang bertentangan. Bila kita terikat untuk mendapatkan sesuatu dengan cara tertentu, bukannya menerima yang sudah ada, artinya kita sudah kalah dalam pertempuran.Â
Bukannya merasa puas dan bersyukur atas apa yang kita miliki, kita terpaku pada apa yang masih kurang dan dorongan untuk memperolehnya. Bila kita selalu terpikir ada yang kurang, artinya kita selalu kecewa dan tidak puas.
Berdamai dengan ketidaksempurnaan bukan sesuatu yang membuat kita bodo amat dan tidak berusaha sama sekali. Ketika saya berdiskusi hal ini dengan seseorang, dia malah mengatakan, "Oh ya sudah! Berarti aku tidak perlu berusaha keras lagi untuk mencapai sesuatu, toh hidup emang gak sempurna, kan?"Â
Kemudian saya bertanya kembali, "Bagaimana kamu bisa mengambil kesimpulan seperti itu? Siapa yang mengajarimu demikian?"
Berharap segalanya menjadi sempurna adalah salah satu bentuk keegoisan terbusuk yang pernah saya ketahui.
Ketika kita berharap sesuatu menjadi sempurna, maka secara tidak langsung kita sedang menolak adanya kesalahan, kekeliruan, atau kegagalan.
Tapi tunggu dulu!
Saya menjadi agak skeptis dengan hal ini. Jangan-jangan kita ini adalah makhluk yang sempurna?
Memangnya siapa makhluk yang tidak pernah berbuat kesalahan? Tentu, jawabannya malaikat! Tapi tidakkah Anda melihat sesuatu yang lain dari hal itu? Bisakah malaikat memiliki kehendak bebas dalam bertindak seperti manusia? Tentu tidak! Karena malaikat sudah diberi tugasnya masing-masing oleh Sang Pencipta, dan mereka hanya melakukan tugas itu sepanjang waktu.
Dengan kata lain, malaikat tidak berbuat kesalahan karena memang tidak diciptakan dengan nafsu.Â
Sekarang mari kita lihat hewan; salah satu makhluk yang hampir mirip dengan manusia *ups..
Hewan memiliki nafsu; hanya itu. Apa yang membedakan kita dengan hewan? Hampir sulit untuk dibedakan saya rasa, tetapi kita memiliki rasio untuk berpikir. Dan hewan, tidak memiliki itu layaknya manusia. Bayangkan jika mereka memilikinya; mungkin beberapa koloni manusia sudah dijadikan budak oleh hewan-hewan.
Jadi kalau paradigma kita selama ini mengatakan bahwa sempurna itu "tanpa kesalahan", maka malaikat adalah makhluk yang sempurna. Tetapi ingat, malaikat bisa demikian karena tidak memiliki nafsu dan tidak bisa bebas berkehendak layaknya manusia.
Karenanya, bagaimana kalau kita sepakat bahwa kita inilah makhluk yang sempurna?Â
Kita bisa melakukan kebaikan layaknya malaikat. Dan kita pun, bisa bertindak "busuk" layaknya hewan.Â
Kita memiliki kehendak bebas yang tidak dimiliki malaikat. Dan kita memiliki rasio untuk berpikir yang tidak dimiliki hewan.
Maka jika Anda bertanya kepada saya, "Siapa makhluk yang sempurna?" Saya akan dengan senang hati menjawabnya dengan, "Kita; kitalah makhluk yang sempurna itu."
Kita semua sempurna dengan segala "kecacatannya". Kita semua sempurna dengan perbedaan dan keunikan yang Tuhan berikan pada kita. Al-Qur'an mengatakan, bahwa manusia telah diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. at-Tin: 4).
Mari kita renungkan bagaimana sesungguhnya hidup yang "sempurna".
Pada awalnya, saya memandang hidup ini tidak sempurna. Banyak ketidakadilan di sini. Tetapi, saya mengubah pandangan tersebut dan mulai tersadar, bahwa hidup ini telah sempurna dengan sebagaimana adanya.
Ya, segala kekacauan yang kita kenal dari kehidupan ini merupakan pelengkap dan "penyempurna" dari hidup itu sendiri.Â
Dunia ini sempurna dengan segala kekacauannya. Dengan kata lain, apa yang kita kenal sebagai kekacauan, kejahatan, tantangan, konflik, termasuk kematian, adalah penyempurna dari kehidupan kita. Tanpa itu semua, hidup tidak sempurna.Â
Langit yang selalu cerah sangat tak lengkap kalau tak turun hujan. Bulan yang selalu terang sangat tak lengkap kalau tak punya sisi gelap.Â
Maka kehidupan yang selalu "cerah" tidak bisa dikatakan sempurna tanpa adanya "kegelapan".
Dan mari kita lihat lebih jauh. Entah berhubungan dengan diri kita sendiri---lemari pakaian yang berantakan, goresan di mobil kita, prestasi yang tidak sempurna, kelebihan berat badan---atau "ketidaksempurnaan" orang lain---penampilan fisik, tingkah laku, atau gaya hidup yang dijalaninya---sikap selalu meributkan ketidaksempurnaan akan menjauhkan kita dari tujuan kita untuk menjadi orang yang baik hati dan lemah lembut.Â
Ini bukan berarti kita tidak perlu lagi berusaha dengan sebaik-baiknya, tetapi ada sisi positif dari tidak terlalu terikat dan terpaku pada apa yang kurang dalam hidup ini. Ini masalah menyadari realitas bahwa selalu ada cara yang lebih baik dalam melakukan sesuatu sekaligus tetap bisa menikmati atau menghargai cara yang sudah ada.
Pemecahannya adalah lepaskan diri Anda sebelum terperangkap dalam tingkah laku memaksakan sesuatu yang menuntut Anda lebih baik daripada yang sudah ada. Ingatkan diri Anda bahwa hidup akan baik-baik saja seperti adanya saat ini. Segala sesuatu akan baik-baik saja tanpa penilaian Anda.
Begitu Anda berhasil menghilangkan keinginan untuk menjadi sempurna dalam segala bidang kehidupan, Anda akan menemukan keindahan dalam hidup Anda. Karena untuk apa? Toh kita memang sudah sempurna dengan apa adanya; dengan segala kekeliruannya, kecacatannya, juga "kebusukannya".
Itulah pesannya; saya ingin Anda berhenti mengejar kesempurnaan, karena kita memang sudah sempurna dengan menjadi apa adanya. Bahkan, sangat penting untuk kita berbuat keliru. Di lain waktu saya akan menulisnya. Semoga!
Kita dihadapkan pada kerapuhan manusia, di mana segala yang kita produksi pasti tidak kekal dan tidak bisa diandalkan.
Kita sempurna dengan menjadi apa adanya, karena hidup memang sempurna ketika berjalan sebagaimana mestinya.
Lalu bagaimana dengan Sang Pencipta? Saya harap Anda tahu perbedaan "sempurna" dengan "Maha Sempurna".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H