Selama ego manusia belum lenyap, "kepuasan" hanyalah kata yang menipu pikiran kita. Pada kenyataannya, kita tak akan pernah puas.Â
Salah satu cara untuk mempertahankan kebahagiaan (sedikit) lebih lama adalah dengan menetapkan standar kebahagiaan kita. Barangkali jika harus digambarkan dalam sebuah pertanyaan, maka pertanyaannya adalah, "Bagaimana sesuatu bisa dikatakan membuat Anda bahagia?"Â
Jawaban bagi saya, bahagia adalah ketika ... kita lihat di akhir tulisan ini.
Mungkin Anda berpikir, "Hey, supaya bisa lebih bahagia, aku butuh mobil baru yang lebih keren," lantas Anda membeli mobil baru dengan harga fantastis.Â
Dan kemudian, beberapa bulan setelahnya, Anda merasa bisa lebih bahagia seandainya Anda memiliki rumah baru; maka Anda membeli rumah baru. Dan kemudian, selang beberapa bulan, sepertinya menyenangkan kalau pergi berlibur ke pantai, lalu Anda pun pergi ke pantai untuk berlibur.Â
Dan di tengah liburan Anda di pantai, tiba-tiba terbesit, "Tahukah yang sekarang ini benar-benar aku inginkan? Ya, segelas bir yang bisa membuatku tenang dan nge-fly."
Semua itu bisa menjadi kisah tak berujung jika saya menuangkannya satu per satu di sini. Intinya, kita tak akan pernah puas terhadap apa yang telah kita miliki. Selalu saja terbesit hal lain yang ingin kita miliki. Senantiasa demikian.Â
Kita pun dapat melihat sesuatu yang begitu egois, bahwasanya standar kebahagiaan kita selalu meningkat, seiring waktu. Mungkin bahagia bagi Anda sekarang ini adalah memiliki uang yang banyak. Ketika Anda berhasil mewujudkannya, maka "jawaban" bahagia bagi Anda akan berubah seiring meningkatnya situasi diri Anda---entah ingin punya rumah baru, mobil baru, atau ... pasangan baru.
Psikolog menyebut konsep ini sebagai "Hedonic Treadmill". Idenya adalah bahwa kita selalu bekerja keras untuk mengubah situasi hidup kita, namun sebenarnya kita tidak pernah merasa sangat berbeda.Â
Dengan kata lain, kita selalu berlari, berlari, dan berlari menuju angka 10 di level kebahagiaan kita, tapi kita selalu terhenti di angka 7.Â
Maksud saya, jika kebahagiaan bisa digambarkan dengan angka 1-10, maka upaya kita mencapai angka 10 selalu saja terhenti di angka 7.
Beberapa hari tampak cerah dan segar; hari yang lain berawan dan kacau. Langit berubah, tapi kita tetap sama. Kita selalu berpikir bahwa kita akan merasa bahagia dan puas jika telah mendapatkan sesuatu yang kita dambakan.Â
Pada nyatanya, kita selalu mendapati kondisi serupa, bahwa kita tak pernah puas dan kemudian memikirkan hal lain yang kiranya bisa membuat kita benar-benar puas dan bahagia.
Hal ini bisa dijelaskan dengan sederhana: bahwasanya standar kebahagiaan kita akan meningkat seiring kita mencapai kebahagiaan itu sendiri.
Seperti contoh tadi, ketika Anda membayangkan bahwa membeli mobil baru akan sangat membuat Anda bahagia, itu (mungkin) memang benar adanya. Tapi seketika itu juga, ketika Anda membeli mobil baru, Anda akan memiliki standar bahagia yang lebih tinggi lagi.Â
Demikian juga kebahagiaan Anda, akan dengan cepat ke level normal kembali. Maka dengan standar yang lebih tinggi itu, Anda menginginkan rumah baru atau ... pasangan romantis baru.
Dalam sebuah penelitian yang sangat terkenal yang diterbitkan oleh para peneliti di Northwestern University pada tahun 1978, ditemukan bahwa tingkat kebahagiaan dari orang lumpuh dan pemenang lotre pada dasarnya sama dalam waktu satu tahun setelah peristiwa tersebut terjadi.Â
Ya, Anda membacanya dengan benar. Di satu sisi, memenangkan sejumlah uang yang mengubah hidupnya dan yang satu kehilangan fungsi anggota tubuh mereka. Dan dalam jangka waktu satu tahun saja, kedua orang itu sama-sama bahagia dalam level yang sama.
Penting untuk dicatat bahwa studi khusus ini belum pernah direplikasi selama bertahun-tahun sejak diluncurkan, tetapi tren umum telah didukung lagi dan lagi.Â
Kita memiliki kecenderungan kuat untuk melebih-lebihkan dampak yang akan ditimbulkan oleh peristiwa ekstrem pada kehidupan kita. Peristiwa ekstrem positif dan negatif tidak benar-benar memengaruhi tingkat kebahagiaan jangka panjang kita hampir sebanyak yang kita kira.
Peneliti menyebut ini sebagai Impact Bias, karena kita cenderung melebih-lebihkan sesuatu yang belum terjadi atau intensitas kebahagiaan yang akan diciptakan oleh peristiwa besar.Â
Sederhananya, ini merupakan kecenderungan kita untuk berlebihan dalam memperkirakan seberapa besar dan lama pengaruh sesuatu terhadap perasaan kita.Â
Impact Bias adalah salah satu contoh ramalan afektif, yang merupakan fenomena psikologi sosial, mengacu pada kemampuan kita yang umumnya memprediksi keadaan emosional masa depan secara mengerikan.
Ketika Anda memenangkan lotre seratus juta Rupiah, Anda pasti akan merasa sangat bahagia. Tapi itu tak akan lama, sebab level kebahagiaan Anda akan kembali ke level normal. Karena kini, standar kebahagiaan Anda akan meningkat.Â
Dengan uang sebanyak itu, mungkin Anda ingin membeli berbagai macam barang mewah. Pada intinya, Anda tak akan merasa puas.Â
Dan inilah Impact Bias yang Anda lakukan. Anda cenderung berpikir bahwa jika Anda memiliki "A", Anda akan sangat bahagia, padahal sebenarnya, Anda akan cepat merasa biasa saja.
Pernah suatu waktu, seorang teman menunjukkan foto orang-orang yang sedang tidur di kamar yang sempit dan lusuh. Kemudian dia berkata, "Lihat, betapa menyedihkannya hidup seperti mereka."Â
Saya membalasnya, "Sungguh? Mungkin saja mereka merasa bahagia dengan keadaan mereka yang seperti itu. Karena alasan yang jelas, standar kebahagiaan mereka berbeda dengan standar kebahagiaan kita. Kamu tidak akan pernah tahu apa yang mereka impikan saat sedang tertidur itu. Mungkin saja sebuah mimpi yang indah; sangat indah." Dia pun mulai menatap saya dengan sinis.
Maka, mengejar kebahagiaan bukan saja menghancurkan diri sendiri, tapi juga tidak mungkin. Itu seperti mencoba menangkap wortel yang tergantung di seutas tali, yang terikat pada sebatang tongkat, dan menempel pada punggung Anda. Semakin Anda mengejar, semakin Anda dipaksa untuk terus maju.Â
Ketika Anda memutuskan bahwa wortel tersebut adalah tujuan akhir, Anda niscaya mengubah diri Anda menjadi sarana untuk mengejarnya. Dan dengan mengejar kebahagiaan, Anda secara paradoksal justru membuatnya sulit diraih.
Mengejar kebahagiaan merupakan nilai yang beracun yang telah sekian lama menandai kebudayaan kita. Itu menghancurkan diri dan menyesatkan. Hidup dengan baik bukan berarti menolak penderitaan, yang sesungguhnya adalah menderita untuk alasan yang benar.Â
Karena jika memang hidup ini pada hakikatnya memaksa kita untuk menderita, sepatutnya kita belajar untuk menderita secara tepat.
Sebaiknya, kita tidak terus-menerus mengejar kebahagiaan. Kita dapat memulainya dengan mengubah perspektif kita tentang kebahagiaan.Â
Jawaban bagi saya tentang standar kebahagiaan, bahwa kebahagiaan adalah tentang menerima segala sesuatu sebagaimana adanya. Saya ingin selalu bahagia, maka saya harus menerima apa yang hidup ini selalu berikan.
Jangan biarkan diri Anda dipermainkan oleh suasana hati yang buruk
Pada akhirnya, mengejar kebahagiaan merupakan penolakan terhadap perkembangan, sebuah penolakan terhadap kematangan, sebuah penolakan terhadap keluhuran.Â
Pengejaran terhadap kebahagiaan justru memperlakukan diri dan pikiran kita sebagai sarana untuk memenuhi tujuan yang sifatnya cuma hura-hura. Kita mengorbankan kesadaran kita demi merasa gembira. Kita melepaskan martabat kita demi memperoleh kenyamanan.
Berhenti mengejar kebahagiaan, dan mulailah menjalani hidup sebagaimana adanya. Karena dengan begitu, kebahagiaan yang akan mengejar kita.
Seperti metafora wortel yang tergantung di seutas tali, yang terikat pada sebatang tongkat, dan menempel pada punggung kita. Jangan kejar wortel itu. Tapi arahkanlah langkah kita pada tujuan yang sebenarnya, maka wortel itu akan dengan sendirinya mengikuti langkah kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H