Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Fate seemed to be toying us with jokes that were really not funny.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Bagaimana Cara untuk Memaafkan Rasa Penyesalan?

15 November 2020   13:49 Diperbarui: 15 November 2020   14:43 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyesal lah dengan tepat! | Sumber: pixabay.com

Cara Anda melanjutkan hidup bukanlah dengan merasionalisasi semua perasaan tidak nyaman itu---dengan menyalahkan diri sendiri atau dunia atas kemalangan Anda---melainkan dengan menerima kesalahan Anda, dengan memahami apa yang terjadi dan mengintegrasikan pengalaman itu ke dalam pemahaman Anda tentang siapa diri Anda saat ini.

Ini memaksa Anda untuk bertanggung jawab atas segala kekacauan Anda, dan jika Anda benar-benar bertanggung jawab atas kekacauan itu, Anda tidak akan mengulanginya---maka untuk itulah penyesalan ada.

Tapi, tentu saja, ini jauh lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.

Setiap pengalaman yang kita alami akan diubah menjadi seperti sebuah alur cerita, kisah, atau narasi di dalam pikiran kita. Dan ketika kita mengalami penyesalan, kita sebenarnya sedang memilih untuk menghidupkan kembali narasi-narasi masa lalu kita. 

Kita memutar kembali narasi kita yang rusak berulang kali. Kita hidup seolah-olah masa lalu masih benar, meski sudah lama berhenti menjelaskan dunia dengan baik pada kita, dan meski narasi yang rusak itu terus menyakiti kita.

Cerita dari masa lalu menentukan jati diri kita. Cerita dari masa depan menentukan kita. Dan kemampuan kita untuk memasuki narasi-narasi tersebut lalu menghayati mereka, demi membuat narasi-narasi itu menjadi nyata, adalah yang memberikan makna pada kehidupan kita.

Masalahnya adalah kita menganggap kegagalan kita di masa lalu sebagai identitas kita yang hilang, diri kita yang seharusnya "ada" tetapi tidak pernah ada. 

Kita menganggap itu sebagai peluang yang hilang. Sama seperti saya yang menganggap bahwa kegagalan saya masuk ke sekolah favorit adalah peluang yang hilang---di mana saya seharusnya menjadi lebih baik dari sekarang, memiliki identitas dan pride yang tinggi, juga memberikan kemudahan dalam mencapai berbagai prestasi. 

Nyatanya, tidak demikian. 

Saya hanya membangun cerita-cerita ideal itu seolah saya seharusnya begitu, padahal bagaimana pun juga, saya akan tetap begini. Kita sering berandai-andai tentang sesuatu, dan jika mencapainya, kita akan menjadi begini-begitu. Faktanya, kita keliru. 

Apa pun yang terjadi, diri kita saat ini adalah realitas nyata sebagai rangkaian takdir yang Tuhan berikan. Kita hanya menyiksa diri kita sendiri dengan citra yang diidealkan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun