Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Revolusi Terselubung Dimensi Pendidikan di Balik Kelamnya Pandemi

30 September 2020   20:59 Diperbarui: 2 Oktober 2020   11:45 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini juga yang membuat solusi dari permasalahan pendidikan saat ini sulit didapat dalam waktu dekat. Memangnya siapa di dunia ini yang sudah mempersiapkan segalanya untuk menghadapi pandemi? Belum ada bukunya, apalagi jurus jitunya. Dan siapa juga yang memiliki debu ajaib Mimi Peri yang bisa membuat keajaiban dalam satu kedipan mata?

Saya tahu, tugas sekolah semakin membludak, kuota semakin sekarat, pikiran semakin berat (semua keambyaran pendidikan di kala pandemi telah saya paparkan dalam tulisan saya sebelumnya).

Tapi hal yang harus kita ketahui adalah, metode PJJ yang kita keluh kesahkan selama ini sama sekali bukan bagian dari rencana Kemdikbud kita. Ya, bung, siapa yang tahu bahwa dunia akan menjadi sekelam ini?

Jadi jika berkenan, mohon pahami hal tersebut. Mungkin itu tidak bisa membuat masalah selesai, tapi setidaknya itu bisa membuat Anda meredakan serangan dan dendam kepada bapak Mendikbud kita.

Karena jika kita sadar, opsi yang dimiliki Kemdikbud tidak lah menyenangkan: pembelajaran tetap berlangsung meskipun kurang efektif atau tidak ada pembelajaran sama sekali. Memilih opsi kedua sama saja merencanakan kebodohan dalam satu generasi, bukan?

Poin pertama yang ingin saya sampaikan, bahwa Pak Nadiem Makarim memiliki tujuan akhir yang cukup membuat saya berderai air mata: untuk generasi muda Indonesia.

Ya, bung! Saya rasa ini belum dimiliki oleh orang-orang sebelum beliau, bahwa para pelajar dijadikan sebagai tujuan akhir, bukan sebagai sarana. Dan ini penting.

Pahami perbedaannya. Saya lapar dan saya ingin makan martabak manis kesukaan saya. Untuk mendapatkan martabak itu, pertama saya harus meninggalkan ranjang saya yang begitu nyaman untuk keluar membelinya. Kemudian saya harus mengeluarkan uang untuk bensin motor.

Belum lagi saya harus mengendap-ngendap keluar dari rumah karena ibu saya melarang untuk banyak makan makanan manis. Dan ya, saya harus rela terjebak dalam kemacetan jalan yang begitu menyebalkan. Sampai pada akhirnya, saya bisa mendapatkan martabak itu.

Dari cerita konyol saya itu, kita dapat pahami bahwa bangun dari rebahan, mengeluarkan uang untuk bensin, mengendap-ngendap dari rumah, dan terjebak dalam kemacetan merupakan sarana yang saya gunakan untuk mencapai tujuan akhir saya: makan martabak manis kesukaan saya. 

Seandainya Pak Mendikbud menjadikan pelajar sebagai sarana dan misalnya menjadikan kehormatan sebagai tujuan akhir, beliau akan bodo amat dengan pelajar dan hanya menetapkan kebijakan demi kehormatan dirinya pribadi. Jika ini bukan hal luar biasa yang pernah Anda dengar, saya ingin tahu, sesulit apa masalah Anda saat ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun