Mohon tunggu...
Hasan Izzurrahman
Hasan Izzurrahman Mohon Tunggu... Penulis - Diam Bersuara

Peneliti multidisiplin. Mengkhususkan diri dalam ilmu politik, hubungan internasional, kebijakan luar negeri, dan hak asasi manusia. Kontak saya di hasanizzul@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Saling Klaim Hak Sungai Nil

10 November 2020   12:13 Diperbarui: 10 November 2020   17:18 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: http://www.italtoursudan.com/

Air adalah kebutuhan hidup, mulai dari kebutuhan konsumsi, pertanian, dan Industri. PBB dalam hal ini di WWAP (World Water Assessment Programme) memperkirakan bahwa setiap individu membutuhkan 20-50 liter air bersih setiap hari. Air menutupi bumi hampir tiga perempat bagian, kita cenderung menganggapnya sebagai sumber daya yang melimpah, namun pada kenyataannya air yang dapat kita konsumsi sangatlah langka.

Kelangkaan air dapat menyebabkan konflik kekerasan. Konflik sumber daya air telah terjadi di berbagai belahan dunia, misalnya pada tahun 1999 dan 2006 yang terjadi di Yaman dan Ethiopia. Konflik yang terjadi di wilayah Darfur, Sudan, disebabkan karena kelangkaan sumber daya air. Begitupun yang akan terjadi pada wilayah lembah Sungai Nil, alirannya melewati 3 negara yang sama-sama memiliki klaim hak atasnya.

Sungai Nil dibentuk oleh 2 aliran utama, aliran Sungai Nil Biru yang mengalir dari dataran tinggi Ethiopia dan aliran Sungai Nil Putih yang muncul di wilayah Great Lakes di Afrika Tengah, kemudian mengalir ke utara melewati Tanzania, Danau Victoria, Uganda, dan Sudan Selatan. Kedua aliran Sungai Nil Biru dan Putih bertemu tepat di utara Khartoum, Sudan kemudian mengalir ke Mesir hingga bermuara di Laut Mediterania. Lebih dari 6.600 kilometer, sungai ini mengalir dari selatan menuju utara dengan melewati perbatasan 11 negara Afrika yang menjadikan sungai terpanjang di dunia.

Sungai ini menjadi saksi sejarah kehidupan Mesir kuno. Para ilmuwan menyebutkan sekitar lima juta tahun yang lalu, Sungai Nil telah berperan penting dalam penciptaan peradaban kuno. Menjadi sumber irigasi untuk mengubah daerah kering di sekitarnya menjadi sebuah lahan pertanian yang subur. Ahli sejarah juga mengatakan, selama pemerintahan Raja Djoser (sekitar 2650-2600 SM) negeri Mesir dilanda kelaparan dan kekeringan dahsyat yang berlangsung selama tujuh tahun. Djoser bermimpi bertemu dengan dewa Khnum, ia diperintahkan untuk memperbaiki kuil yang tidak terawat di Pulau Elephantine (sebuah pulau di tengah Sungai Nil, wilayah Aswan). Setelah kuil itu diperbaiki, maka kelaparan terangkat dan Mesir kembali subur. Kisah ini diceritakan pada Prasasti Dinasti Ptolemeus (332-330 SM) yang menggambarkan betapa pentingnya Sungai Nil bagi masyarkat Mesir.

Sungai ini kemudian dikenal sebagai "Mother of All Men" karena dianggap sebagai manifestasi dari dewi Ma'at yang mewujudkan konsep kebenaran, harmoni, dan keseimbangan. Sungai ini menjadi bagian integral dari kehidupan, pengetahuan, dan perdagangan Mesir. Digambarkan sebagai keajaiban yang menajubkan. Berkat sungai inilah Mesir mendapatkan julukan "Ummu Ad-Dunya" yang merujuk dari sejarah sebagai salah satu peradaban awal di dunia.

Peradaban Mesir kuno ada karena keberadaan Sungai Nil.

Namun sejak Ethiopia mulai membangun Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD) pada tahun 2011, rasa khawatir muncul di masyarakat Mesir. Sebuah bendungan pembangkit listrik tenaga air yang dibangun di atas aliran Sungai Nil Biru akan digadang menjadi bendungan terbesar di Afrika. Mesir menganggap proyek bendungan ini sebagai ancaman eksistensial negara yang sepenuhnya mengandalkan air  Sungai Nil.

Bendungan tersebut adalah impian manufaktur dan industri Ethiopia. Mereka mengalami  kekurangan pasokan listrik yang parah, dengan 65% populasinya tidak terhubung dengan jaringan listrik.  Setelah selesai pembangunannya, bendungan ini diharapkan dapat menghasilakan 6.000 megawatt. Energi yang dihasilkan akan cukup untuk memenuhi kebutuhan warganya.

Sumber: www.middleeastmonitor.com
Sumber: www.middleeastmonitor.com

Ada dua permasalahan yang terjadi pada proyek pembangunan bendungan. Pertama, Ethiopia berencana akan mengisi bendungannya dalam waktu enam tahun, yang akan dimulai pada musim hujan di bulan Desember 2020. Semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mengisinya, maka semakin kecil dampaknya pada permukaan sungai. Namun Mesir sangat menolak dan memberikan usulan untuk menambahkan periode pengisiannya. Mesir khawatir jika pengisian bendungan dilakukan dengan cepat, maka permukaan sungai yang melewatinya akan turun drastis, terutama pada fase awal pengisian. Kedua, Mesir menuntut adanya mekanisme baru yang tepat dan mengikat dalam negoisasi terakhir, namun Ethiopia menolak dan akan terus menyelesaikan rencananya.

Ethiopia kekurangan pasokan listrik untuk kebutuhan warganya.

Mengapa Mesir menolak?

Pada perjanjian yang telah dilakukan pada tahun 1929, antara kolonial Inggris dan Mesir yang berisi tentang pemberian hak Mesir atas penguasaan penggunaan air sungai, serta melakukan hak veto terhadap proyek apapun yang dapat menimbulkan risiko kemanan air Mesir. Ditambah dengan perjanjian di tahun 1959 dengan Sudan yang secara sepihak memperkuat posisi Mesir dalam menguasai penuh air sungai. Ethiopia merasa bukan bagian dari semua perjanjian itu, maka mereka menolak dan tetap melakukan pembangunan tanpa meminta persetujuan dari Mesir bahkan Sudan.

Hak sejarah Mesir atas Sungai Nil telah mendorong ketergantungan yang lebih . Kurangnya curah hujan membawa Mesir pada kelangkaan sumber air dan terbatasnya lahan subur, mengakibatkan mesir bergantung pada impor pangan. Sektor pertanian Mesir saat ini menggunakan 80% dari pasokan air sungai, namun tingkat produksi dalam negerinya  masih jauh dari permintaan rakyatnya. Sejalan denga tren ketergantungan yang tinggi, Mesir juga dihadapkan dengan pertumbuhan populasi yang terus menigkat pesat. Mereka akan membutuhkan pasokan air lebih banyak daripada saat ini, mereka juga dihadapkan dengan tantangan mengatasi kelangkaan air di masa depan.

Mesir merupakan pemain penting di benua Afrika, tetapi pengaruhnya mulai memudar seiring dengan munculnya kekuatan baru Ethiopia. Presiden Mesir Abdel Fattah El Sisi selama masa jabatannya mengadalkan retorika keamanan nasional dan pembaruan kekuasaan Mesir. Merasa kehilangan pengaruhnya di kawasan, Mesir berusaha mendekati negara-negara lain seperti  Arab Saudi dan Uni Emirates Arab untuk menciptakan keretakan hubungannya dengan Ethiopia. Mesir juga meningkatkan kerja sama diplomasi dan keamanan bilateral dengan negara tetangganya, seperti upaya mengajak Sudan agar masuk dalam barisan penolakan bendungan Ethiopia.

Ethiopia menanggapi langkah ini dengan rencana ambisiusnya dalam membangun kekuatan angakatan lautnya di Laut Merah dan Teluk Aden. Di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Abiy Ahmed, mereka memulai pemulihan hubungannya dengan musuh lamanya, Eritrea. Abiy menginginkan aliansi tersebut membuka jalan di era baru dengan perdamaian regional dan integrasi di tanduk Afrika.

Posisi Sudan

Negara-negara tetangga Ethiopia yang terdiri dari Sudan, Sudan Selatan, Kenya, Djibouti, dan Eritrea kemungkinan besar akan mendapatkan manfaat dari tenaga yang dihasilkan oleh bendungan tersebut.  Terkhusus bagi Sudan, mereka akan mendapatkan keuntungan tambahan. Biasanya Sudan di musim hujan antara bulan Agustus-September mengalami banjir parah, namun setalah pembangunan bendungan selesai maka mereka akan mendapatkan kontrol pada aliran sungai sepanjang tahun.

Sebelum rezim Omar basyir digulingkan, Sudan sudah dalam posisi mendukung penuh atas pembangunan bendungan tersebut. Kemudian dukungan itu dilanjutkan oleh Dewan Transisi Sudan. Didukung oleh kondisi hubungan yang erat antara Perdana Menteri Ethiopia Abiy dengan Perdana Menteri Sudan Abdullah Hamdouk. Kedua negara sama-sama memiliki keuntungan, Sudan akan terus mendukung pembangunan dan Ethiopia akan terus mendukung penghapusan Sudan dari daftar negara yang mensponsori terorisme.

Apakah akan terjadi konflik antara mereka?

Dialog sudah sering dilakukan oleh ketiga negara, mulai dari pembicaraan tiga arah tentang pengoperasian bendungan hingga mekanisme pengisiannya. Namun selama delapan tahun lebih belum ada hasil yang disepakati bersama. Ada kekhawatiran mereka akan terlibat dalam konflik yang lebih nyata. Mesir berencana akan mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk melindungi haknya. Sedangakan Ethiopia juga tidak akan mengalah. 

Perdana menteri Abiy mengatakan, "Tidak ada satupun kekuatan yang dapat menghentikan Ethiopia membangun bendungan."

Amerika Serikat dan Uni Afrika juga turut membantu menyelesaikan masalah ini. Konflik yang terjadi antara kedua negara (Mesir-Ehtiopia) yang sama-sama sekutu dari Amerika Serikat, dapat menarik kepentingan global serta mengancam rute perdangangan internasional di Terusan Suez dan disepanjang kawasan Tanduk Afrika.

Sejatinya Mesir dan Sudan sepakat perihal pentingnya mencapai keuntungan bersama, namun masing-masing dari mereka memiliki visi sendiri dalam menangani langkah-langkah yang diambil Ethiopia. Mesir memulai langkahnya dengan mengirimkan kasus ini ke Dewan Keamanan PBB. Mereka mengambil langkah diplomatik untuk mencegah Ethiopia dalam melakukan langkah sepihak. 

Sementara Sudan terlihat lebih defensif dan berusaha menjadi penengah di antara Mesir dan Ethiopia. Pakar Kemanan dan Militer Sudan, Dr. El Amen Abdel Razek, menyarankan kepada keduanya untuk saling menahan diri, jalan yang benar dalam mencapai kesepakatan adalah dialog tripartit dan tidak membenarkan segala tindakan pada opsi eskalasi militer. Menurutnya pilihan opsi militer adalah pilihan yang sia-sia bagi semua pihak. Letak geografis antara Mesir dan Ethiopia yang dibatasi oleh Sudan serta jaraknya yang cukup jauh akan menyulitkan semuanya.

Sudan menjadi penengah antara keduanya.

Kekuatan suatu bangsa dan peluangnya untuk bertahan hidup sangat bergantung pada faktor geografis, populasi, kapasitas industri, dan sumber daya alam. (Boland III 1992). Masing-masing negara memiliki arti penting dari sebuah sungai. Mesir merasa memiliki hak sejarah dan ketergantungannya yang hebat, Ethiopia merasa bahwa mereka memiliki hak atas pemanfaatan sungai yang selama ini kurang terasa manfaatnya, sedangkan Sudan tepat berada di antara kedua negara (Mesir-Ethiopia) dan kedua Nil (Nil Biru-Nil Putih).

Ketiga negara sepakat untuk terus membahas masalah ini. Melibatkan tiga orang menteri perairan dari setiap negara serta perwakilan dari Uni Afrika, Uni Eropa dan Bank Dunia. Pembicaran melalui enam anggota tim tersebut diharapkan akan menghasilkan titik terang dari permasalahan yang terjadi di aliran Sungai Nil.

Sumber: www.thenationalnews.com
Sumber: www.thenationalnews.com

Daftar Referensi

  • Mark, J.J. 2009. A Ancient History Encyclopedia: Nile. https://www.ancient.eu/nile/. Diakses pada 6 November jam 19.18 WIB
  • Mutahi, B. 2020. “Egypt-Ethiopia row: The trouble over a giant Nile dam.”. BBC: https://www.bbc.com/news/world-africa-50328647. Diakses pada 6 November 2020 jam 19.08 WIB.
  • Negm. A.M. & Fattah, S.A. 2019. Grand Ethiopian Renaissance Dam Versus Aswan High Dam. Switzerland: Springer.
  • Osman, K.S. 2020. “سد النهضة... وسياسة حافة الهاوية”. Almajalla Magazine: https://arb.majalla.com/node/94376/. Diakses pada 6 November 2020 jam 19.32 WIB.
  • West. J.R., et all. 2007. Natural Resources, Conflict, and Conflict Resolution. Washington DC: United States Institute of Peace.
  • Woldemreem, M. 2020. “سد النهضة... والصراع على النيل”. Al Jarida: https://www.aljarida.com/articles/1597511368447066700/. Diakses pada 6 November 2020 jam 19.47 WIB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun