Pergantian Antar Waktu (PAW) ini merupakan sebuah tema yang sangat menarik dengan melihat beberapa peristiwa yang terjadi di ujung tahapan pemilu. Dalam tahapan Pemilu yang dimulai dari perencanaan program dan anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan Penyelenggaraan Pemilu hingga pengucapan sumpah janji bagi yang terpilih. Pergantian antar waktu biasanya terdapat pada fase setelah proses Pemilu usai.
Terdapat dua terminologi terkait PAW ini, merujuk pada peraturan KPU itu diformulasikan sebagai Pergantian Antar Waktu (PAW). Tetapi jika merujuk pada UU MD3 No. 17 Tahun 2014 itu terminologinya disebut Penggantian Antar Waktu (PAW). Namun pada intinya bisa ditarik kesimpulan bahwa PAW ini merupakan pergantian dari pejabat politik yang sudah dilantik.Â
Banyak yang menilai bahwa pertanggungjawaban terkait pergantian antar waktu ini sudah bukan tanggung jawab KPU karena ini sudah berada diluar Pemilu. Tugasnya penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU hanya mengkonfirmasi siapa calon pengganti sesuai dengan perolehan suara terbanyak berikutnya. Dalam hal ini yang diberlakukan adalah UU Partai Politik No. 2 Tahun 2008 juncto UU No. 2 tahun 2011 dan UU MD3.Â
Dalam prosesnya, pergantian antar waktu ini dapat dilakukan setelah adanya pemberhentian antar waktu. Partai politik dapat melakukan pergantian antar waktu anggotanya yang menjabat sebagai anggota legislatif setelah dilakukan pemberhentian antar waktu berdasarkan atas hal apa saja anggota legislatif ini dapat diberhentikan antar waktu.Â
Pemberhentian antar waktu bagi anggota legislatif sendiri diatur dalam UU No. 17 Tahun 2014 Pasal 239 Ayat 1 yang menyatakan bahwa anggota legislatif diberhentikan antar waktu karena meninggal dunia, mengundurkan diri atau diberhentikan. Hal tersebut diperjelas pada ayat selanjutnya secara rinci anggota legislatif mana saja yang dapat dilakukan pemberhentian antar waktu.Â
Anggota legislatif yang dapat dilakukan pemberhentian antar waktu itu jika dalam kondisi tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota legislatif selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun, melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik anggota legislatif, dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota legislatif dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR/DPRD dan DPD, diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau menjadi anggota partai lain.
Sebenarnya dalam UU MD3 yang mengatur juga permasalahan ini tidak menjelaskan secara eksplisit didalamnya terkait fenomena ketika seorang anggota legislatif memilih berbeda dengan fraksinya atau berbeda dengan garis partainya sehingga itu menjadi pertanyaan apakah itu yang menjadi alasan partai untuk memberhentikannya itu tidak dijelaskan secara eksplisit. Di samping itu ada beberapa negara yang menjelaskannya secara eksplisit seperti di India, Bangladesh dan Maldives.Â
Untuk kasus yang berhenti antar waktu karena diberhentikan oleh partai politik ini menjadi unik ketika dalam UU MD3 Pasal 241 ayat 1 UU No. 17 Tahun 2014 bahwa dalam hal anggota partai politik yang diberhentikan oleh partai politiknya dan ia sebagai anggota legislatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 sedangkan yang bersangkutan (anggota legislatif yang diberhentikan) mengajukan keberatan melalui gugatan di pengadilan, maka pemberhentiannya itu sah setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkrah). Kondisi ini terjadi dalam kasus Fahri Hamzah dengan PKS dan Viani Limardi dengan PSI yang terbaru.Â
Sehingga terlihat terdapat suatu langkah proteksi yang ingin dilakukan oleh negara terhadap anggota legislatif yang merupakan wakil-wakil rakyat yang sudah dipilih melalui Pemilu.Â
Dengan alasan sudah diberhentikan oleh partai politik tidak bisa serta merta membuat seseorang kehilangan posisinya sebagai wakil rakyat.Â
Maka ia diberikan suatu hak untuk melakukan upaya hukum. Sehingga proses penggantiannya hanya bisa dilakukan setelah terdapat keputusan pengadilan yang memperoleh putusan berkekuatan hukum tetap.Â
Namun dalam hal ini terdapat inkonsistensi dengan apa yang dilakukan oleh KPU. Dimana KPU mengatur dalam peraturan KPU No. 5 Tahun 2019 dan juga mengeksekusi peraturan KPU No. 5 Tahun 2019 itu sendiri.Â
Sehingga jika merujuk pada UU MD3 yang menarasikan berhenti antar waktu yang diberhentikan oleh partai politik harus menunggu keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, namun KPU dalam beberapa prakteknya cenderung langsung menerima begitu saja apa yang diberikan partai politik, asal diberhentikan oleh partai politik, ada prosedur pemberhentian, ada surat keterangan pemberhentian dari partai politik, ada pengajuan penggantian dengan alasan sudah diberhentikan, maka diproses begitu saja oleh KPU.
Sehingga terdapat distorsi ketika calon legislatif direkrut secara terbuka dan demokratis, lalu kemudian ketika sudah menjadi anggota legislatif dalam pemberhentiannya diatur sampai harus ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap terlebih dahulu. Tetapi ketika prosesnya ada di KPU, KPU seolah menutup mata.Â
Apakah proses yang dilakukan di dalam partai itu sudah dilakukan secara terbuka atau demokratis, itu tidak diverifikasi dan divalidasi oleh KPU. Lalu apakah anggota legislatif yang diberhentikan itu sedang menempuh jalur hukum atau tidak, seolah-olah itu tidak dipedulikan.Â
Jika bicara soal asas adil, adil bukan hanya proses rekrutmen dan pada rangkaian proses pemilihan yang harus adil. Tetapi bagaimana orang ketika ia harus diganti, seharusnya diperlakukan juga secara adil.Â
Sehingga ini menjadi koreksi bagi penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU. Memang terdapat kondisi keresahan KPU yang tidak ingin dinilai ikut campur urusan internal partai politik.Â
Namun disatu sisi KPU ini seharusnya sebagai penyelenggara Pemilu yang tegas dalam melakukan klarifikasi dengan melakukan pembatasan dan menahan upaya-upaya partai politik untuk mengganti anggota legislatif secara tidak adil khususnya.Â
Sehingga prinsip dalam menghormati daulat rakyat yang telah memberikan suara kepada peserta Pemilu ditegakkan dan terjaga oleh penyelenggara Pemilu yang dalam hal ini KPU.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H