Mohon tunggu...
Muhammad AvatarMarvellian
Muhammad AvatarMarvellian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Padjadjaran

Menyukai sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemberontakan PKI Madiun 1948, Sebuah Kronologi

11 April 2023   18:12 Diperbarui: 11 April 2023   18:16 1342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Semenjak kemerdekaan Indonesia, PKI berusaha untuk mencari seorang pemimpin yang bisa menyaingi Soekarno dan Hatta. Kegagalan pemberontakan PKI tahun 1926 mengakibatkan banyak petingginya yang lari ke luar negeri, dan hanya menyisakan Amir Syarifuddin saja sebagai pemimpin yang bertaraf nasional. Kejatuhan Kabinet Sjahrir pada tahun 1947 membuat Amir ditunjuk oleh Soekarno untuk membentuk kabinet baru. Namun karena terjadinya Agresi Militer Belanda I dan Perundingan Renville membuat Kabinet Amir harus dibubarkan dan digantikan oleh Kabinet Hatta pada tahun 1948, dimana mereka akan berfokus pada (1) Penyelenggaraan Perjanjian Renville, (2) Membentuk RIS, (3) Rekonstruksi dan Rasionalisasi angkatan perang (RERA).

Para kelompok kiri tidak dilibatkan dalam pembentukan kabinet Hatta, karena mereka tidak mendapatkan apa yang mereka mau, yaitu sekurangnya 4 kursi dalam kabinet dan jabatan menteri pertahanan. Sehingga kelompok kiri seperti FDR/PKI menjadi pihak oposisi dalam kabinet dan seringkali mengecam kebijakan Hatta, terutama dalam hal RERA, dimana pihak FDR/PKI berpendapat pengurangan jumlah angkatan perang dapat mengurangi kapabilitas Indonesia dalam berperang.

Sebetulnya ini bukan pertama kalinya PKI menanamkan ideologinya dalam APRIS. Semasa Amir Syarifuddin masih menjabat menteri pertahanan, ia banyak melantik perwira Pepolit untuk menanamkan ideologi komunisme pada tentara Indonesia. Hal ini ditambah oleh mosi Baharudin dari sayap kiri kepada KNIP untuk menempatkan APRI dibawah kementrian pertahanan. Hal ini menimbulkan terjadinya dua cabang militer, yaitu militer dibawah kementrian pertahanan yang dipimpin Amir dan militer dibawah markas besar tentara (MBT) yang dipimpin oleh Jendral Sudirman.

Posisi FDR/PKI semakin terpojok ketika Rustam Effendi membuka peranan FDR/PKI dalam perjanjian Linggarjati dan Renville, dimana mereka membantu Belanda lewat Partid van den Arbeid. Amir pun terpaksa mengakui bahwa ia mendapat dana f25.000 dari Van Der Plas. Hal ini membuat FDR/PKI menaruh dendam pada Kabinet Hatta, serta membuat mereka gencar menghalangi progres Divisi Siliwangi di Jawa Tengah. Soekarno pun memerintahkan untuk menggeledah rumah Amir, dimana ia menemukan dokumen-dokumen FDR/PKI berisi rencana penggantian kabinet Hatta dan rencana pemberontakan di Madiun. Soekarno langsung memerintahkan A.H. Nasution untuk menyusun rencana dalam menumpas pemberontakan PKI Madiun, namun pada saat pengesahan rencana, FDR/PKI sendiri sudah melancarkan pemberontakannya dalam usaha mendirikan Negara Soviet Indonesia.

FDR/PKI melancarkan pemberontakan pada 18 September 1948 di Madiun, dimana suasana pemberontakan terlihat kacau, dengan orang-orang FDR/PKI menduduki fasilitas apapun yang bermanfaat. Ratusan FDR/PKI menyerbu kantor polisi di Gorang Gareng, dimana banyak terjadinya baku tembak antara dua pihak. Banyak anggota-anggota polisi yang terbunuh dari peristiwa itu, sisanya ditawan dan dibantai pada keesokan harinya. Depo Militer V pun diserang oleh para simpatisan PKI, meskipun terdapat waktu bagi batalyon disana untuk bersiap siap. Depo Militer V terbilang lemah dan kalah jumlah, karena pada saat itu ada batalyon yang dikirim ke Cepu untuk menghadapi agresi militer Belanda dan satu batalion lagi dikirim untuk meminta bantuan ke Sarangan, sehingga perwira militer disana menyerah dan dibawa ke daerah Panekan untuk disekap.

FDR/PKI juga melancarkan pembantaian-pembantaian di daerah sekitar Madiun. Bekasnya terdapat di Lembah Parang, dimana disana ditemukan dua lubang pembantaian dengan masing-masing enam jenazah. Korbannya sendiri merupakan kepala desa dari sekitar daerah kecamatan Parang, dan kebanyakan merupakan lurah. Rakyat kecil pun tidak lepas dari ancaman FDR/PKI. Jika mereka tidak mau menjadi anggota FDR/PKI mereka tentunya akan dibunuh juga. Karena hal inilah banyak masyarakat yang membantu tentara dalam menumpas gerakan FDR/PKI dengan menyediakan mereka makanan, memberikan informasi mengenai persembunyian PKI, dan rencana-rencana PKI selanjutnya.

Memasuki hari ketiga pendudukan FDR/PKI di Magetan, kesatuan dari Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) dan Tentara Genie Pelajar masih belum tunduk pada FDR/PKI. Organisasi Mobilisasi Pelajar pun masih ikut setia kepada pemerintah Indonesia. Markas TRIP sempat dilucuti oleh pasukan Pesindo, yang bermula dari adu mulut lalu berubah menjadi adu tembakan dengan hasil 9 orang TRIP ditangkap dan satu dibunuh secara ganas. Karena peristiwa tersebut, gerakan anti Musso merebak di Magetan, dengan banyaknya disebar pamflet-pamflet propaganda anti Musso beserta FDR/PKI nya.

Presiden Soekarno pun tidak tinggal diam. Ia memerintahkan untuk menggeledah rumah Amir Syarifuddin dan menemukan dokumen yang berisi rencana untuk menghancurkan Negara Republik Indonesia. Soekarno menegaskan kepada menteri dalam negeri saat itu, Sultan Hamengkubuwono IX, bahwa gerakan FDR/PKI harus segera ditumpas. Jendral Soedirman memerintahkan Kolonel Sungkowo di Jawa Timur untuk menumpas gerakan FDR/PKI. Soekarno memerintahkan Jendral A.H. Nasution untuk membuat rencana penumpasan PKI Musso di Madiun.

FDR/PKI sendiri telah menyusun taktik untuk menghadapi tentara Indonesia dari arah barat, namun mereka salah perhitungan dalam tentara dari Jawa Timur. Sebelum terjadinya pemberontakan, terjadi ketegangan antara tentara di Jawa Timur dengan MBT di Yogyakarta. Militer Jawa Timur sendiri sudah dua kali menolak perintah dari MBT tentang pengangkatan gubernur militer. Hal ini sendiri mungkin didasarkan dari RERA, dimana banyak perwira militer yang diturunkan pangkatnya oleh pusat. 

Situasi ini dimanfaatkan oleh FDR/PKI dengan mengirim Letkol Dachlan untuk menghasut para tentara dari Brigade Surachman untuk bergabung dengan FDR/PKI. Militer Jawa Timur naik pitam setelah mendapat kabar bahwa Kolonel Marhadi, Letkol Wijoyo, dan Mayor Bismo ditangkap oleh FDR/PKI. Letkol Dachlan akhirnya mengajak seluruh perwira militer untuk berunding dengan Kolonel Soengkono sebagai pemimpin rapat. 

Namun rapat itu berlangsung sampai semalaman karena situasi panas. Barulah pagi harinya, para perwira militer Jawa Timur mendapatkan informasi bahwa FDR/PKI melakukan makar di Madiun dan Presiden Soekarno telah menyampaikan pidato untuk menumpas pemberontakan tersebut. Jendral Soedirman melalui radio pun mengangkat Kolonel Soengkono sebagai gubernur militer Jawa Timur dan ditugaskan untuk menumpas gerakan FDR/PKI. Letkol Dachlan sendiri ditangkap tanpa sepengetahuan anak buahnya. 

Larinya FDR/PKI dari kota Madiun disebabkan oleh peran dari Kompi Macan Kerah yang melakukan penyerangan di sekitar Gunung Wilis. Aksi yang dilakukan kompi tersebut tidak hanya membuat kekacauan dalam pertahanan FDR/PKI di Dungus, namun juga memporak-porandakan strategi mereka untuk menghadang tentara Indonesia dari arah barat. Akibat penyerangan tersebut, pasukan FDR/PKI lari ke arah selatan karena dari arah barat tentara Brigade Siliwangi sudah memasuki kota Madiun. Banyak pasukan FDR/PKI yang berpencar dalam pelariannya. 

Terdapat Brigade Surachmad yang mengejar pasukan FDR/PKI dari Kediri menuju Mojoroto, lalu menuju Ngujang. Dari Ngujang, batalion FDR/PKI Maladi Jusuf lari ke Karangrejo, sementara sebagian pasukan lainnya mundur ke arah barat, setelah tahu bahwa Brigade Surachmad mendapat bantuan dari batalion Branjangan dari daerah Kandat. Dalam pelarian ini, sebagian pasukan FDR/PKI lari ke Sendang dekat Gunung Wilis, sementara sebagian lagi lari ke Trenggalek dan ke Pulung. Di Pulung, mereka dikejar oleh batalion Branjangan sampai ke Slaung. 

Di perjalanan ke Slaung, mereka digempur oleh Brigade Siliwangi, dan akhirnya mereka lari ke Wonogiri. Dalam perjalanan ke Wonogiri, mereka terus digempur oleh Brigade Siliwangi dan Brigade Nasuhi, sampai ke Cemorosewu.

Banyak cerita dan versi-versi yang mengisahkan bagaimana Musso terbunuh. Namun yang paling umum dikisahkan bahwa seorang polisi berpapasan dengan seseorang yang mencurigakan. Pada saat ditanya surat-suratnya, orang tersebut menggeram bahwa ia adalah Musso dan langsung menembak polisi tersebut di kepala. Musso pun mencuri sebuah dokar dan melarikan diri. Di perjalanan ia berpapasan dengan sebuah mobil yang dikendarai oleh Lettu Sumadi dan mulai menembakinya. Lettu Sumadi dan anak buahnya pun mundur, dan menunggu bantuan dari kompinya, sementara Musso lari ke desa terdekat. Ketika kompi Sumadi datang dan menggeledah desa tersebut, ia menemukan Musso dan memintanya untuk menyerah. Namun karena terus-menerus melawan, ia pun tertembak mati.

Sementara dikisahkan bahwa Amir Syarifuddin ditangkap di kawasan Alas Ketu dengan merangkul injilnya. Setelah penangkapan, Amir dibawa ke Yogyakarta dan ditahan di Benteng Vrederburg . Namun karena Agresi Militer Belanda II, Amir dan para tahanan FDR/PKI lainnya harus dipindahkan keluar kota. Sebanyak 11 tokoh FDR/PKI dibawa ke Desa Ngalihan di Kabupaten Karanganyar, dimana mereka dieksekusi mati setelah mendapat perintah dari Gubernur Militer Gatot Subroto. 

Dalam tempo kurang dari 3 bulan, tentara Indonesia berhasil meredam dan menumpas pemberontakan FDR/PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tak diragukan bahwa FDR/PKI telah merencanakan pemberontakan ini secara matang, dan telah mempunyai kekuatan yang dibilang mumpuni. Namun salah satu kesalahan mereka adalah mengira bahwa rakyat lokal akan berada di pihak FDR/PKI. Hal ini terlihat setelah pidato Soekarno yang menyadarkan masyarakat bahwa mereka telah diperalat oleh FDR/PKI. Dua tahun setelah pemberontakan FDR/PKI, pada tahun 1950, penggalian terhadap lubang-lubang pembantaian FDR/PKI baru bisa dilakukan. Karena saking banyaknya lubang pembantaian di Jawa Tengah dan Jawa Timur, membutuhkan banyak waktu untuk menggali dan mengangkut semua jenazah dari sana, belum untuk dimandikan dan dikuburkan.

Sumber :  Maksum, Agus Sunyoto, dan A. Zainuddin. (1990). Lubang-Lubang Pembantaian: Petualangan PKI di Madiun. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun