Larinya FDR/PKI dari kota Madiun disebabkan oleh peran dari Kompi Macan Kerah yang melakukan penyerangan di sekitar Gunung Wilis. Aksi yang dilakukan kompi tersebut tidak hanya membuat kekacauan dalam pertahanan FDR/PKI di Dungus, namun juga memporak-porandakan strategi mereka untuk menghadang tentara Indonesia dari arah barat. Akibat penyerangan tersebut, pasukan FDR/PKI lari ke arah selatan karena dari arah barat tentara Brigade Siliwangi sudah memasuki kota Madiun. Banyak pasukan FDR/PKI yang berpencar dalam pelariannya.Â
Terdapat Brigade Surachmad yang mengejar pasukan FDR/PKI dari Kediri menuju Mojoroto, lalu menuju Ngujang. Dari Ngujang, batalion FDR/PKI Maladi Jusuf lari ke Karangrejo, sementara sebagian pasukan lainnya mundur ke arah barat, setelah tahu bahwa Brigade Surachmad mendapat bantuan dari batalion Branjangan dari daerah Kandat. Dalam pelarian ini, sebagian pasukan FDR/PKI lari ke Sendang dekat Gunung Wilis, sementara sebagian lagi lari ke Trenggalek dan ke Pulung. Di Pulung, mereka dikejar oleh batalion Branjangan sampai ke Slaung.Â
Di perjalanan ke Slaung, mereka digempur oleh Brigade Siliwangi, dan akhirnya mereka lari ke Wonogiri. Dalam perjalanan ke Wonogiri, mereka terus digempur oleh Brigade Siliwangi dan Brigade Nasuhi, sampai ke Cemorosewu.
Banyak cerita dan versi-versi yang mengisahkan bagaimana Musso terbunuh. Namun yang paling umum dikisahkan bahwa seorang polisi berpapasan dengan seseorang yang mencurigakan. Pada saat ditanya surat-suratnya, orang tersebut menggeram bahwa ia adalah Musso dan langsung menembak polisi tersebut di kepala. Musso pun mencuri sebuah dokar dan melarikan diri. Di perjalanan ia berpapasan dengan sebuah mobil yang dikendarai oleh Lettu Sumadi dan mulai menembakinya. Lettu Sumadi dan anak buahnya pun mundur, dan menunggu bantuan dari kompinya, sementara Musso lari ke desa terdekat. Ketika kompi Sumadi datang dan menggeledah desa tersebut, ia menemukan Musso dan memintanya untuk menyerah. Namun karena terus-menerus melawan, ia pun tertembak mati.
Sementara dikisahkan bahwa Amir Syarifuddin ditangkap di kawasan Alas Ketu dengan merangkul injilnya. Setelah penangkapan, Amir dibawa ke Yogyakarta dan ditahan di Benteng Vrederburg . Namun karena Agresi Militer Belanda II, Amir dan para tahanan FDR/PKI lainnya harus dipindahkan keluar kota. Sebanyak 11 tokoh FDR/PKI dibawa ke Desa Ngalihan di Kabupaten Karanganyar, dimana mereka dieksekusi mati setelah mendapat perintah dari Gubernur Militer Gatot Subroto.Â
Dalam tempo kurang dari 3 bulan, tentara Indonesia berhasil meredam dan menumpas pemberontakan FDR/PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tak diragukan bahwa FDR/PKI telah merencanakan pemberontakan ini secara matang, dan telah mempunyai kekuatan yang dibilang mumpuni. Namun salah satu kesalahan mereka adalah mengira bahwa rakyat lokal akan berada di pihak FDR/PKI. Hal ini terlihat setelah pidato Soekarno yang menyadarkan masyarakat bahwa mereka telah diperalat oleh FDR/PKI. Dua tahun setelah pemberontakan FDR/PKI, pada tahun 1950, penggalian terhadap lubang-lubang pembantaian FDR/PKI baru bisa dilakukan. Karena saking banyaknya lubang pembantaian di Jawa Tengah dan Jawa Timur, membutuhkan banyak waktu untuk menggali dan mengangkut semua jenazah dari sana, belum untuk dimandikan dan dikuburkan.
Sumber : Â Maksum, Agus Sunyoto, dan A. Zainuddin. (1990). Lubang-Lubang Pembantaian: Petualangan PKI di Madiun. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H