Kami selaku mahasiswa KKN pun selalu diberikan kesempatan untuk membantu atau sedikit berkontribusi dalam acara-acara yang dilaksanakan oleh berbagai kelompok masyarakat di desa Dlingo. Salah satu acara yang berkesan bagi kami adalah, kami yang merupakan mahasiswa dari kampus islam diberikan kesempatan untuk membantu dan mengikuti serangkaian acara penting dan langka umat Hindu di desa Dlingo. Acara tersebut bernama Ngenteg Linggih.Â
Menurut mbah Google, Ngenteg Linggih, dalam tradisi Hindu di Bali, merupakan sebuah upacara sakral yang bertujuan untuk melinggihkan Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya di tempat suci, baik pura maupun palinggih. Upacara ini melambangkan penyatuan niskala (hal gaib) dan sekala (hal nyata), menandai keberadaan Tuhan di tempat tersebut. Tapi pada intinya upacara tersebut diadakan untuk menandai keberadaan Tuhan di tempat suci dan memperkuat keimanan dan keyakinan mereka. Fun fact nya upacara ini diadakan hanya setiap 30, 50, 100 tahun sekali, jadi kami benar-benar beruntung mendapatkan pengalaman yang berharga ini tanpa harus jauh-jauh ke Bali hehe.Â
Sebelum upacara Ngenteg Linggih berlangsung, banyak masyarakat yang membantu demi kelancaran acara, slogan gotong royong sangat terasa didalam jiwa masyarakat desa Dlingo. Saat upacara pun banyak masyarakat sekitar yang datang entah untuk sekadar menghadiri ataupun melihat prosesi upacara tersebut.Â
Pawai Memperingati Malam Hari Raya Idhul Adha
Hal lain yang membuat kami terkesan adalah kami dipercaya untuk menjadi panitia pawai memperingati malam idhul Adha. Sama seperti kebanyakan tradisi di pulau Jawa, kegiatan untuk memperingati malam hari raya umat islam adalah dengan melakukan pawai atau arak-arakan mengelilingi desa. Kalau di desa Dlingo, acara ini biasanya dilaksanakan oleh adik-adik TPQ (Taman Pendidikan Alqur'an) dan anak-anak sekitar lingkungan masjid. Terkadang orangtua mereka ikut menemani pawai atau sudah menunggu di masjid. Pawai ini tak hanya berjalan mengelilingi desa saja, tapi di perjalanannya selalu melantunkan shalawat kepada nabi dan takbir hingga berhenti di titik pemberhentian.
Setelah sampai ke tempat pemberhentian, yakni masjid. Kami lalu membuat acara makan kecil-kecilan. Sambil mengistirahatkan kaki karena lelah berjalan, sekalian kami ngobrol dan bercanda tawa dengan orangtua mereka. Malam itu merupakan malam yang bikin kami tersenyum, entah karena kelakuan bocil-bocil yang random atau perasaan kami saja yang kalau diakui memang jarang mengikuti acara-acara seperti ini di rumah.Â
Kesan dan Pesan Penulis
keberagaman di desa kecil pelosok Boyolali ini seperti sengaja mengajarkan saya untuk menyaksikan betapa beragam perbedaan di Indonesia, hingga bisa kita temukan miniatur nya di desa Dlingo.Â
Melihat kerukunan masyarakat desa Dlingo tanpa melihat status apapun, membuat hati dan pikiran saya sedikit terenyuh. Rasa gotong royong dan semangatTepat sebulan kami melaksanakan KKN di desa Dlingo, tidak hanya kami terlena dengan keindahan alamnya yang menawan, lembah nya yang memikat mata, ataupun luasnya persawahan dari ujung barat ke ujung timur desa, akan tetapi kami pun dibuat nyaman oleh pelukan hangat warga Dlingo yang tanpa pamrih melihat kami seperti anaknya sendiri. Banyak sekali kegiatan yang tidak bisa kami temukan disekitar kami, banyak pengalaman yang mungkin tak akan pernah kami alami lagi. KKN benar-benar merubah pikiran kami dari yang awalnya merasa malesin menjadi ngangenin.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H