Selanjutnya, Â setiap orang yang sudah melangsungkan ikatan perkawinan sudah pasti memiliki kesiapan mental dan tujuan yang ingin diraih yaitu berupa keluarga yang penuh dengan kebahagiaan lahir maupun batin. Oleh karena itu, Â baik laki-laki maupun perempuan yang sudah menjadi pasangan suami istri harus memiliki sikap saling membantu dan melengkapi agar dapat mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan yang diharapkan. Namun, setiap perjalanan perkawinan pastinya tidak selalu berjalan lancar dan mulus. Pasti banyak persoalan yang pada akhirnya muncul dalam rumah tangga dan menimbulkan sebuah konflik di dalamnya. Keluarga tak ubahnya sebuah bahtera di tengah lautan. Terkadang bisa berjalan dengan tenang, namun juga harus mampu melewati ombak dan badai. Kondisi seperti inilah yang dapat memunculkan sifat asli dari seseorang untuk menang sendiri, tidak dapat mengendalikan emosinya dan pada akhirnya melakukan tindakan kekerasan kemudian berakhir dengan salah satu pihak menjadi korban.
Sudah pasti keterangan di atas merujuk pada kekerasan dalam rumah tangga atau disingkat KDRT. Masalah kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah serius yang sudah tidak asing lagi terjadi dalam ruang lingkup masyarakat. Perlu diketahui, bahwa melakukan tindak kekerasan merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, baik laki atau perempuan yang dapat menyebabkan penderitaan terhadap korban kekerasan.
Kekerasan bisa saja terjadi pada perempuan, anak, maupun laki – laki. Menurut data yang dilansir oleh Komnas Perempuan pada tahun 2020 menunjukkan bahwa total keseluruhan kekerasan yang terjadi pada perempuan sebanyak 299.911 ribu. Dari data tersebut, kita dapat mengetahui bahwa kekerasan masih banyak terjadi pada pihak perempuan.
Seringkali orang beranggapan bahwa KDRT hanya sebatas kekerasan fisik. Padahal nyatanya lebih dari itu. KDRT dapat berupa kekerasan psikis yang membuat mental korban menjadi hancur, kekerasan seksual, hingga penelantaran. Tentu saja hal ini tidak dapat dibenarkan dan dibutuhkan pencegahan agar kasus seperti ini tidak terus-terusan terjadi.
Melihat masih banyaknya kekerasan yang terjadi pada perempuan, sudah pasti kekerasan dapat menimbulkan dampak yang buruk bagi perempuan. Perempuan yang menjadi korban kekerasan dapat mengalami luka – luka seperti memar, mental yang sangat buruk, menurunnya tingkat rasa percaya diri, merasa dirinya lemah dan tidak berdaya, mengalami depresi, stress berlebihan, menyalahkan diri sendiri atas kejadian yang telah menimpanya, dan memiliki keinginan untuk mengakhiri hidup atau bunuh diri.
Agar kekerasan dalam rumah tangga ini tidak terjadi lagi, pelaku kekerasan sudah semestinya dihukum sesuai dengan peraturan perundang – undangan. Upaya yang dapat dilakukan dengan cara melaporkan kasus ini kepada pihak kepolisian. Dan korban juga bisa menunjukkan bukti – bukti kekerasan seperti foto luka – luka atau chat yang bersifat mengancam yang dikirimkan oleh pelaku. Penegak hukum sudah seharusnya bersikap tegas kepada pelaku kekerasan.
Selain itu, korban pastinya juga membutuhkan tempat cerita agar merasa dirinya lebih tenang setelah menceritakan masalahnya. Maka dari itu, korban bisa menceritakan masalah ini kepada orang yang menurut korban bisa dipercaya seperti rekannya, keluarganya, ataupun orang terdekat lainnya. Terakhir hal yang dapat dilakukan oleh korban yaitu dengan melakukan terapi atau konseling agar bisa memulihkan kondisi seperti trauma atas kejadian yang telah menimpanya.
Dari uraian yang panjang lebar di atas, penulis menyimpulkan bahwa  dua (2) permasalahan yang cukup serius dan masih hangat untuk dicari akar permasalahannya yaitu, sikap toleran dan berkeadilan gender dalam membentuk keluarga yang masih menemukan kendala besar dalam implementasinya. Upaya hukum saja sebagai pintu terakhir tidaklah cukup untuk mengatasi masalah-masalah di atas. Upaya penanaman nilai-nilai agama lewat jalur Pendidikan formal misalnya masih dianggap penulis masih belum optimal dan menyentuh perilaku individu, kolektif dalam keluarga bahkan masyarakat secara luas.Â
Boleh jadi masalah intoleransi dan ketidakadilan gender yang timbul dalam masyarakat karena penanaman nilainya belum optimal, atau karena sistem pembelajaran kurikulum yang belum sepenuhnya berpihak dalam mengatasi 2 (dua) masalah di atas. Belum lagi, jika dikaitkan dengan bagaimana penanaman nilai itu dalam kehidupan keluarga. Karena boleh jadi, literasi keluarga terhadap implementasi sikap toleransi dan keadilan gender masih sangat kurang sehingga dapat mempengaruhi sikap pengambil kebijakan, pendidik, tenaga kependidikan  peserta didik, dan lingkungan sekitar sekolah.
C. Tawaran Solusi Dalam Pembentukan Karakter Toleran dan Berkeadilan Gender dalam Keluarga.Â
Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga -termasuk sekolah untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah.