Mohon tunggu...
Muhammad Idrus
Muhammad Idrus Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa S3 UIN Mataram

Tertarik dengan Persoalan Pendidikan anak dan keluarga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peranan Pendidikan Agama dalam Keluarga Untuk Pembentukan Karakter Toleran dan Berkeadilan Gender

11 Juni 2023   05:08 Diperbarui: 11 Juni 2023   05:08 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

           A. Peranan Keluarga Dalam Pembentukan Karakter Toleran

Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan yang mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa Pendidikan sama sekali, mustahil suatu kelompok manusia  dapat hidup berkembang untuk maju, sejahtera dan Bahagia. Oleh karena itu pendidikan sangatlah memiliki peran strategis dalam peningkatan mutu sumber daya manusia. Pendidikan berperan dalam upaya mendewasakan manusia, memperbaiki tingkah laku dan meningkatkan kualitas hidup perseorangan, kelompok maupun suatu bangsa.

Secara rasional-filosofis pendidikan  hendaknya diarahkan pada dua dimensi, yaitu: pertama, dimensi dialektika horizontal, kedua, dimensi ketundukan vertikal. Pada dimensi dialektika horizontal pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan konkrit yang terkait dengan diri, sesama manusia dan alam semesta. Untuk itu akumulasi berbagai pengetahuan, keterampilan dan sikap mental merupakan bekal utama dalam  kehidupan konkrit. Sedangkan pada dimensi kedua, pendidikan  selain menjadi alat untuk bersosialisasi, berpolitik, bernegara, bermasyarakat, memelihara dan melestarikan sumber daya alam, juga hendaknya menjadi jembatan dalam mencapai hubungan yang abadi dengan Sang Pencipta.

Setiap orang mendambakan kehidupan yang aman, damai dan sejahtera sebagaimana yang dicita-citakan masyarakat Indonesia, yaitu adil, sejahtera dan makmur bagi seluruh lapisan masyarakat. Untuk mencapainya berbagai sistem kenegaraan muncul seperti demokrasi, cita-cita suatu masyarakat tidak mungkin dicapai tanpa mengoptimalkan kualitas sumber daya manusia. Hal ini terlaksana apabila semua bidang pembangunan bergerak secara terpadu yang menjadikan manusia sebagai subjek. Pengembangan masyarakat sebagai sebuah kajian keilmuan dapat menyentuh keberadaan manusia yang berperadaban. Pengembangan masyarakat merupakan sebuah proses mentransformasikan watak, sikap dan prilaku masyarakat ke arah  yang lebih baik seperti yang dicita-citakan.

Pendidikan Agama  menawarkan konsep ajaran yang komprehensif dan integral, tidak hanya pada persoalan ubudiyah (ibadah), tetapi juga menyangkut kode etik sosial yang digunakan manusia sebagai perangkat penataan sosial yang diarahkan pada kemaslahatan manusia itu sendiri. Salah satu tokoh ulama besar dalam sejarah Islam, Imam Al-Ghazali mengungkapkan bahwa mendidik dalam Islam bermakna menyiapkan anak untuk dapat menciptakan sejarah yang gemilang mulai sejak dini.

Salah satu persoalan kemanusiaan yang perlu mendapatkan perhatian besar seluruh umat beragama adalah persoalan pembentukan karakter baik pada personal, keluarga, kelompok masyarakat maupun bangsa. Karakter yang kuat adalah fundamental yang mampu memberikan dampak positif. Manusia dengannya mampu hidup bersama dengan lainnya dan selalu dipenuhi kebaikan serta keharmonisan. Dalam menanggulangi krisis moral, diperlukan penguatan pendidikan karakter sejak dini dan berkesinambungan.

Sebagai salah satu usaha nyata yang dilakukan sejak dini agar pendidikan karakter terbina dan terbentuk maka dipandang perlu dimulai dari kelompok kecil bernama keluarga. Keluarga yang  penuh kedamaian, kasih dan sayang penuh berkah akan lebih mudah terwujud bila penanaman nilai-nilai kebaikan diupayakan terus-menerus.  Hal demikian dipandang sangat signifikan dan efektif karena keluarga dianggap sebagai sekolah pertama bagi manusia. Akan membekas pada sikap si anak tentang apa yang didapatkannya dari kehidupan keluarganya jika nanti pada saat remaja dan dewasa.

Selain itu, dapat diketahui juga secara realitas bahwa hidup sebagai warga Indonesia yang kaya akan kemajemukan menyadarkan kita akan pentingnya toleransi. Sebagai seorang muslim misalnya wajib memiliki sifat toleransi agar dapat hidup berdampingan dengan penganut agama lainnya.  Toleransi adalah sikap tentang keterbukaan dan penghormatan terhadap perbedaan yang ada di masyarakat. Toleransi bukan hanya dalam hal keragaman suku budaya dan agama tetapi juga perlu diterapkan pada berbagai perbedaan lainnya seperti menghargai penyandang disabilitas/difabel, menghargai pilihan yang tak sama dan menghargai pendapat yang berbeda.  Sikap toleransi menjadi sangat penting karena nilai ini adalah dasar untuk menuju masyarakat madani. Dengan semangat toleransi manusia dapat menjembatani kesenjangan budaya menolak stereotip yang tidak adil dan menciptakan hubungan baik di tengah perbedaan.

Keluarga dianggap  sebagai sekolah pertama bagi setiap manusia. Keluarga adalah media pertama untuk menumbuhkan sikap toleransi dalam keluarga. Keluarga adalah sekolah pertama bagi setiap anak.  Keluarga yang menanamkan nilai nilai luhur kehidupan akan membesarkan generasi penerus yang berbudi perkerti dan berkarakter mulia. Keluarga yang baik dan toleran dapat menjadi tempat melestarikan generasi menjadi penyejuk mata dan hati orang tua, atau istilah agamanya Qurrota A' yun.

Toleransi dalam keluarga dapat dimulai sedini mungkin sebab anak di usianya yang masih muda mampu menyerap nilai nilai kehidupan dasar yang sebagian besar terwujud dari cerminan sikap dan nilai nilai yang ditunjukkan dari orangtua dan orang-orang di lingkungan terdekatnya. Anak melihat orang tua yang mampu menunjukkan respek dan toleransi beragama tidak membeda bedakan ras warna kulit hingga kemampuan fisik dan intelegensia sehingga akan membuat anak belajar banyak hal untuk menghargai perbedaan.  Melalui perbincangan sehari hari orang tua perlu menyampaikan tentang makna dasar merajut kebhinnekaan. Perbedaan harus diterima sebagai karunia dari Tuhan Yang Maha Kuasa.  Dia menciptakan manusia secara berbeda beda agar manusia bisa saling mengenal dan saling menghargai bukan saling membenci. Oleh sebab itu setiap orang tidak boleh menganggap dirinya lebih penting dari yang lain. Setiap orang punya hak yang sama untuk didengarkan, dihargai, dan diperhatikan. 

B. Peranan Keluarga Dalam Pembentukan Karakter Berkeadilan Gender

Selanjutnya,  setiap orang yang sudah melangsungkan ikatan perkawinan sudah pasti memiliki kesiapan mental dan tujuan yang ingin diraih yaitu berupa keluarga yang penuh dengan kebahagiaan lahir maupun batin. Oleh karena itu,  baik laki-laki maupun perempuan yang sudah menjadi pasangan suami istri harus memiliki sikap saling membantu dan melengkapi agar dapat mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan yang diharapkan. Namun, setiap perjalanan perkawinan pastinya tidak selalu berjalan lancar dan mulus. Pasti banyak persoalan yang pada akhirnya muncul dalam rumah tangga dan menimbulkan sebuah konflik di dalamnya. Keluarga tak ubahnya sebuah bahtera di tengah lautan. Terkadang bisa berjalan dengan tenang, namun juga harus mampu melewati ombak dan badai. Kondisi seperti inilah yang dapat memunculkan sifat asli dari seseorang untuk menang sendiri, tidak dapat mengendalikan emosinya dan pada akhirnya melakukan tindakan kekerasan kemudian berakhir dengan salah satu pihak menjadi korban.

Sudah pasti keterangan di atas merujuk pada kekerasan dalam rumah tangga atau disingkat KDRT. Masalah kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah serius yang sudah tidak asing lagi terjadi dalam ruang lingkup masyarakat. Perlu diketahui, bahwa melakukan tindak kekerasan merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan merupakan salah satu bentuk ketidakadilan gender. Kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, baik laki atau perempuan yang dapat menyebabkan penderitaan terhadap korban kekerasan.

Kekerasan bisa saja terjadi pada perempuan, anak, maupun laki – laki. Menurut data yang dilansir oleh Komnas Perempuan pada tahun 2020 menunjukkan bahwa total keseluruhan kekerasan yang terjadi pada perempuan sebanyak 299.911 ribu. Dari data tersebut, kita dapat mengetahui bahwa kekerasan masih banyak terjadi pada pihak perempuan.

Seringkali orang beranggapan bahwa KDRT hanya sebatas kekerasan fisik. Padahal nyatanya lebih dari itu. KDRT dapat berupa kekerasan psikis yang membuat mental korban menjadi hancur, kekerasan seksual, hingga penelantaran. Tentu saja hal ini tidak dapat dibenarkan dan dibutuhkan pencegahan agar kasus seperti ini tidak terus-terusan terjadi.

Melihat masih banyaknya kekerasan yang terjadi pada perempuan, sudah pasti kekerasan dapat menimbulkan dampak yang buruk bagi perempuan. Perempuan yang menjadi korban kekerasan dapat mengalami luka – luka seperti memar, mental yang sangat buruk, menurunnya tingkat rasa percaya diri, merasa dirinya lemah dan tidak berdaya, mengalami depresi, stress berlebihan, menyalahkan diri sendiri atas kejadian yang telah menimpanya, dan memiliki keinginan untuk mengakhiri hidup atau bunuh diri.

Agar kekerasan dalam rumah tangga ini tidak terjadi lagi, pelaku kekerasan sudah semestinya dihukum sesuai dengan peraturan perundang – undangan. Upaya yang dapat dilakukan dengan cara melaporkan kasus ini kepada pihak kepolisian. Dan korban juga bisa menunjukkan bukti – bukti kekerasan seperti foto luka – luka atau chat yang bersifat mengancam yang dikirimkan oleh pelaku. Penegak hukum sudah seharusnya bersikap tegas kepada pelaku kekerasan.

Selain itu, korban pastinya juga membutuhkan tempat cerita agar merasa dirinya lebih tenang setelah menceritakan masalahnya. Maka dari itu, korban bisa menceritakan masalah ini kepada orang yang menurut korban bisa dipercaya seperti rekannya, keluarganya, ataupun orang terdekat lainnya. Terakhir hal yang dapat dilakukan oleh korban yaitu dengan melakukan terapi atau konseling agar bisa memulihkan kondisi seperti trauma atas kejadian yang telah menimpanya.

Dari uraian yang panjang lebar di atas, penulis menyimpulkan bahwa  dua (2) permasalahan yang cukup serius dan masih hangat untuk dicari akar permasalahannya yaitu, sikap toleran dan berkeadilan gender dalam membentuk keluarga yang masih menemukan kendala besar dalam implementasinya. Upaya hukum saja sebagai pintu terakhir tidaklah cukup untuk mengatasi masalah-masalah di atas. Upaya penanaman nilai-nilai agama lewat jalur Pendidikan formal misalnya masih dianggap penulis masih belum optimal dan menyentuh perilaku individu, kolektif dalam keluarga bahkan masyarakat secara luas. 

Boleh jadi masalah intoleransi dan ketidakadilan gender yang timbul dalam masyarakat karena penanaman nilainya belum optimal, atau karena sistem pembelajaran kurikulum yang belum sepenuhnya berpihak dalam mengatasi 2 (dua) masalah di atas. Belum lagi, jika dikaitkan dengan bagaimana penanaman nilai itu dalam kehidupan keluarga. Karena boleh jadi, literasi keluarga terhadap implementasi sikap toleransi dan keadilan gender masih sangat kurang sehingga dapat mempengaruhi sikap pengambil kebijakan, pendidik, tenaga kependidikan  peserta didik, dan lingkungan sekitar sekolah.

C. Tawaran Solusi Dalam Pembentukan Karakter Toleran dan Berkeadilan Gender dalam Keluarga. 

Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga -termasuk sekolah untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah.

Dalam mendidik anak, tentunya harus ada kesepakatan antara bapak ibu sebagai orang tua, akan dibawa kepada pendidikan yang otoriter atau pendidikan yang demokratis atau bahkan yang liberal, sebab mereka penentu arah dalam keluarga. Dalam kehidupan masyarakat terkecil, yaitu keluarga, suami secara fungsional adalah penanggung jawab utama rumah tangga (keluarga) sedangkan istri adalah mitra setia yang selalu aktif konstruktif mengelola rumah tangga.  

 

Peran  tranformatif nilai-nilai pendidikan agama dalam keluarga yaitu suasana kondusif dalam keluarga, masyarakat dan sekolah sangat menentukan internalisasi nilai-nilai  toleransi dan nilai-nilai keadilan gender dengan baik akan berdampak luas serta berlangsung sampai anak meraih kedewasaan dan kemandiriannya kelak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun