Mohon tunggu...
muhammad fadililham
muhammad fadililham Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa universitas islam negeri sunan ampel

hobi membaca buku

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

budaya dan filsafat jawa

15 Desember 2024   10:00 Diperbarui: 15 Desember 2024   09:15 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti juga orang jawa yang sering mengadakan selamatan. Orang jawa meniatkan untuk mengungkapkan rasa Syukur atas titipan oleh yang maha kuasa. Maka dalam selamatan tidak hanya untuk berkumpul untuk makan-makan namun juga memiliki niat untuk bersedekah dan juga mempererat tali silaturahim.

Nilai yang ketiga yang dimiliki oleh orang jawa adalah emosional-intuitif. Orang jawa selalu mengedepankan rasa. Dalam istilahnya yaitu “sungkan lan unggah-ungguh” yang berarti tenggang rasa dan menghormati orang lain.

Nilai keempat yang diyakini oleh orang jawa adalah ketentraman dan kemapanan. Orang jawa lebih suka hidupnya tentram, mapan, nyaman daripada dikejar-kejar untuk berkompetisi dalam mencari kemenangan. Memang dalam kebiasaannya orang jawa banyak yang agraris atau Bertani. Sehingga ketika selesai menanam orang jawa hanya menunggu dan tidak berkompetisi untuk menang. Karena orang jawa tidak suka untuk berkompetisi mereka lebih suka untuk menerima apa adanya yang penting berusaha dulu.

Dan nilai terakhir adalah orang jawa selalu melihat segala sesuatu secara holistic atau menyeluruh tidak parsial atau setengahnya saja. Juga bersifat puitis, karena orang jawa suka hal-hal yang bersifat simbolik atau makna yang memahami suatu objek. Maka dilihat dari sastra jawa, yang mana gayanya jauh berbeda dengan sains modern yang bersifat deskriptif. Contoh hal simbolik dari budaya jawa adalah serat-serat jawa yang diterangkan secara simbolik. Seperti serat yang menceritakan tentang Kerajaan majapahit yang mana tidak disebutkan berdiri dan runtuhnya Kerajaan tersebut. Melainkan diganti dengan gaya yang simbolik untuk mengganti penyebutan tahun tersebut. Tujuan adalah untuk menghadirkan gaya bahasa yang puitis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun