Mohon tunggu...
Muhammad Hatta
Muhammad Hatta Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Staf Dokter Badan Narkotika Nasional

Selanjutnya

Tutup

Healthy

RSUD Kita Mau ke Mana?

26 Februari 2018   18:58 Diperbarui: 26 Februari 2018   19:15 2063
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Hampir satu dekade terakhir , Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) telah menjalankan fungsinya layanannya sebagai Lembaga Teknis Daerah(LTD). Ini sesuai UU Nomor 32/2004 yang menyebutkan bahwa "LTD merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik berbentuk badan, kantor atau rumah sakit umum daerah". 

Namun UU Nomor 23 Tahun 2014 merubah segalanya.  Ia "menghilangkan" nomenklatur LTD dan menyatakan Organisasi Perangkat Daerah(OPD) hanya terdiri atas : Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Inspektorat, Dinas, Badan dan Kecamatan. Walau belakangan terbit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2016 sebagai penjelasan UU di atas, tetap saja meresahkan para pimpinan RSUD se Indonesia. Pasalnya, PP tersebut tak merinci jelas tata kelola RSUD selaku Unit Pelaksana Teknis Daerah(UPTD) otonom di bawah Dinas Kesehatan.

Padahal UU tentang RS Nomor 44/2009 telah merinci tugas RSUD adalah sebagai institusi yang memberikan layanan kesehatan perorangan secara paripurna, jauh berbeda dengan Dinas Kesehatan(Dinkes) yang  bergerak  dalam bidang layanan kesehatan masyarakat umum. Dalam pola ini, Dinas Kesehatan akan menjalankan dwi fungsi sebagai "operator" dan "regulator" layanan kesehatan di daerah. Ini tugas yang berat dan sedikit mustahil, mengingat rangkap peran seperti itu membebani  Dinkes yang mesti mengurus  hulu hingga hilir permasalahan kesehatan(Laksono, 2016).

Di sisi lain,iapun tak selaras dengan status Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah(PPK-BLUD) yang telah diterapkan sebagian besar RSUD.  PPK-BLUD berkedudukan langsung di bawah kepala daerah setempat yang dikukuhkan dengan Peraturan Bupati/Walikota/Gubernur. Kontrak Kinerja (contractual performance agreement) yang diteken kepala daerah bersama pimpinan RSUD pun mesti batal mengingat status UPT otonom yang disandangnya. 

Resiko penyalahgunaan wewenang Pemda dalam tata kelola UPTD RSUD, seperti dikeluhkan Menteri Keuangan Sri Mulyani pun mesti diwaspadai(Detik.com, 4/12/17).  Secara kasat mata, perpanjangan birokrasi UPTD RSUD justru bertentangan dengan salah satu asas desentralisasi yang menginginkan peningkatan efisiensi dan efevtivitas penyelenggaraan pemerintahan.  

Hanya tugas tambahan

Ditekankan oleh PP 18/2016, fungsi direktur RSUD hanya merupakan tugas tambahan seorang tenaga medis (dokter atau dokter gigi). Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 1 Tahun 2013 mendefinisikannya sebagai  "tugas lain yang ada hubungannya dengan tugas jabatan yang bersangkutan dan tidak tercantum dalam sasaran kinerja pegawai yang telah ditetapkan". Hal ini menimbulkan konsekuensi cukup serius bagi seorang dokter/dokter gigi yang berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara(ASN) yang mesti mendahulukan tugas pokok melayani pasien.   

Padahal RSUD adalah struktur kompleks yang padat modal dan teknologi serta harus dikelola oleh sosok manajer profesional yang bekerja purna waktu.  Tugas tambahan tersebut  niscaya menimbulkan konflik horizontal dan vertikal dalam penerapannya.   

Konsep Badan Pengelola

Dalam UU Kesehatan, ada 3 opsi bentuk RSUD yaitu sebagai UPT Dinas Kesehatan, LTD dan "instansi tertentu". Kalimat "instansi tertentu" tersebut jika diartikan sebagai sebuah  "Badan" akan bersinergi dengan UU 23/2014, yang dalam Pasal 219 menyebutkan bahwa badan dibentuk untuk melaksanakan fungsi penunjang Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. 

Walau dalam Pasal yang sama disebutkan bahwa "Badan" dibentuk untuk bidang-bidang tertentu seperti perencanaan, pendidikan dan pelatihan, keuangan serta penelitian pengembangan, namun terdapat kalimat pada poin e yang menyebutkan bahwa badan boleh dibentuk untuk "fungsi lain sesuai ketentuan perundang-undangan". Inilah yang dapat menjadi pintu masuk pembentukan Badan Pengelola RSUD.

Beberapa keuntungan yang diperoleh  bila RSUD berubah bentuk menjadi Badan Pengelola, yaitu (1) tidak ada penghapusan jabatan struktural dikarenakan struktur organisasi Badan yang mirip dengan SKPD lain;(2) Badan Pengelola tetap bertanggung jawab langsung kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah, bukan kepada Kepala Dinas Kesehatan bila berbentuk UPT otonom;(3) status PPK-BLUD tetap boleh disandang oleh RSUD karena ia hanyalah merupakan salah satu bentuk pengelolaan administratif dan keuangan.

Tentu saja masih ada opsi-opsi solutif lain yang bisa  dipertimbangkan. Namun kesemuanya lemah tatkala diperhadapkan dengan regulasi dan aturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu diantaranya adalah menjadikan RSUD sebagai UPT instansi vertikal, dalam hal ini Kementrian Kesehatan. Ide yang lain adalah menjadikan RSUD sebagai Badan Usaha Milik Daerah(BUMD) dimana pemerintah daerah menyertakan modal didalamnya. Namun kedua ide tersebut kembali  bertentangan dengan UU 23/2014 yang jelas menyatakan bidang kesehatan sebagai kewenangan Pemda dan tak boleh berbentuk badan usaha profit.

Pemerintah harus secepatnya mengatasi masalah ini dengan mengeluarkan Peraturan Presiden yang dimaksud. Agar RSUD dapat berfungsi kembali sebagai ujung tombak pelayanan kuratif yang efektif dan efisien..   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun