Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Dari Penjara menuju Surga

4 Desember 2024   08:48 Diperbarui: 8 Desember 2024   11:14 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tahanan. Sumber: Pexels/ahmet öktem

Apakah ada hal yang lebih buruk dari penjara?

Apakah benar penjara itu tempat yang paling hina?

Apakah benar kita jauh lebih baik dari pada narapidana yang akan dieksekusi mati?

Hidup bebas di alam terbuka adalah harapan seluruh makhluk. Beraktivitas seperti biasa layaknya orang-orang normal yang berjuang membela hak-haknya dianggap sebagai jalan terang.

Namun di kehidupan yang fana dan penuh dengan teka-teki ini hampir semua manusia lupa bahwa masa depan mereka adalah kematian. 

Kematian menjadi misteri bagi setiap orang meskipun takdir itu nyata dan pasti. Kebutuhan duniawi membuat kita lupa dengan mati.

Kita kerap menganggap hidup normal seperti yang saat ini kita jalani adalah hal yang sangat menguntungkan ketimbang seorang narapidana yang akan ditembak mati. Padahal mungkin saja kita tidak jauh lebih beruntung dari mereka.

Kita sibuk mencari nafkah, jodoh, melihat anak-anak tumbuh dewasa, menyiapkan sederet proyek penting yang menghasilkan dan menguntungkan bagi orang banyak. Tapi kita lupa bahwa setiap langkah khilaf dan kesalahan yang kita lakukan berpotensi untuk menjadi dosa. 

Kita mungkin hidup di alam bebas yang penuh dengan harapan dan kebahagiaan. Tapi mungkin saja sebenarnya kita hidup di balik penjara.

Penjara itu tidak nampak seperti penjara, namun kita dipenjarakan oleh harapan, ambisi, egoisme, keserakahan, dan sejuta kebutuhan eksistensial manusia lainnya yang secara tidak sadar telah memenjarakan ingatan kita tentang kematian. 

Hingga akhirnya kita lupa ketika hari kematian itu tiba tanpa sebuah persiapan.

Seorang gembong narkoba yang tertangkap beberapa tahun lalu menjadi sorot berbagai media. Kali ini Ia akan dieksekusi mati oleh petugas lapas Nusakambangan. Lapas yang dianggap paling hina, paling angker, dan paling buruk seburuk-buruknya lapas di negeri ini.

Namun siapa sangka di lapas itu banyak narapidana yang beriman dan bertobat sebelum mati. 

Mereka orang-orang di dalam lapas ini mungkin dianggap kotor oleh manusia yang hidup bebas di alam terbuka seperti kita ini. Mereka dianggap sebagai jenis manusia paling hina karena pernah berbuat dosa. Tapi siapa sangka mungkin mereka juah lebih beruntung dari kita karena mati dalam keadaan suci.

Lapas Nusakambangan yang dianggap angker telah memberikan sisi sucinya kepada setiap narapidana eksekusi mati. Di sana mereka mendapatkan bimbingan untuk memilih jalan setelah mati. Merenungi setiap kesalahan yang pernah mereka perbuat, bertobat kepada Tuhan, dan memilih kepercayaannya sendiri adalah sebuah hidayah yang tak ternilai harganya. 

Hidayah yang tidak kita dapatkan selama hidup di alam bebas dan terbuka seperti saat ini.

Kita mungkin saja tertutup mata hatinya, atau abai dengan pintu-pintu masjid, gereja, pura, dan tempat ibadah lainnya yang setiap waktu kita lewati. 

Sementara kita berkeliaran setiap hari dari rumah menuju kantor untuk mengais rezeki, dari kantor menuju lapangan untuk melakukan sidak ini dan itu, ke kantor lagi untuk absen, dan kembali pulang ke rumah saat sore untuk menemui anak dan istri. 

Tapi kita lupa bahwa kematian setiap waktu mengincar hidup kita, dan merenggut semua yang telah tercapai di dunia ini. Maka jangan biarkan diri kita dipenjarakan oleh kebutuhan duniawi. 

Penjara, seringkali dipandang sebagai tempat yang paling jauh dari harapan dan kebaikan. Namun, di balik tembok-tembok tinggi dan pintu besi yang kokoh, tersimpan begitu banyak kisah inspiratif tentang perubahan dan penemuan jati diri.

Salah satunya adalah kisah tentang seorang individu yang berhasil melakukan transformasi luar biasa dalam hidupnya, tepatnya di dalam penjara. 

Jauh dari hiruk pikuk dunia luar, penjara memberikan ruang yang cukup bagi seseorang untuk merenung dan merefleksikan segala tindakannya.

Dalam kesendirian dan keterbatasan, mereka dipaksa untuk berhadapan dengan diri sendiri, dengan segala kesalahan dan dosa yang pernah dilakukan.

Bagi individu yang kita bicarakan, penjara menjadi semacam titik balik, sebuah momen di mana ia memutuskan untuk mengubah hidupnya dan sekaligus mempersiapkan diri untuk menemui Tuhan.

Proses transformasi yang terjadi di dalam penjara bukanlah hal yang instan. Dibutuhkan waktu, kesabaran, dan usaha yang konsisten. Individu tersebut mungkin memulai dengan perasaan marah, kecewa, dan putus asa.

Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai menyadari bahwa tindakannya telah menyakiti orang lain dan dirinya sendiri. Rasa penyesalan yang mendalam mendorongnya untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang dihadapinya. 

Kuncinya hanyalah satu, apa yang perlu Ia lakukan sebelum menemui Tuhan.

Lingkungan penjara yang keras dan penuh tantangan justru dapat menjadi pemicu perubahan yang positif. Interaksi dengan sesama narapidana, program pembinaan, dan dukungan dari petugas penjara dapat memberikan inspirasi dan motivasi untuk berubah.

Selain itu, kegiatan keagamaan atau spiritual juga dapat menjadi sarana bagi individu untuk menemukan kedamaian batin dan kekuatan untuk bangkit kembali. 

Meskipun narapidana yang dieksekusi mati sudah pasti tidak dapat mengembalikan seluruh kehidupannya dan memulai kembali harmonisasi keluarga dari nol. Namun mereka tahu jika mereka mati dalam keadaan bertaubat keluarga yang ditinggalkan pasti tidak pernah akan kecewa kepadanya.

Kisah ini mengajarkan kita bahwa tidak ada manusia yang sempurna dan setiap orang berpotensi untuk melakukan kesalahan. Namun, yang terpenting adalah bagaimana kita merespon kesalahan tersebut.

Dengan sikap rendah hati, kemauan untuk berubah, dan dukungan dari lingkungan sekitar, kita dapat bangkit dari keterpurukan dan memulai hidup baru. Hidup baru yang dimaksud mungkin bukan di bumi, melainkan di surga sana nanti.

Jadi sekarang bagaimana dengan kita yang selama ini hidup bebas di alam terbuka, yang terus bekerja mencari rezeki di rimba raya ini? Sekali waktu kita ingat dengan kematian? Lalu kembali lupa saat deadline pekerjaan kembali datang?

Ingatlah keberuntungan tidak pernah datang secara cuma-cuma kecuali kitalah yang mencarinya. Mencari banyak amal baik sebelum datangnya hari kematian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun