Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jalan Raya adalah Wajah Pendidikan Kita

3 September 2024   19:30 Diperbarui: 3 September 2024   19:37 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagaimana kondisi jalan raya kita saat ini?

Apakah benar jalan raya adalah gembaran pendidikan kita hari ini?

Bagaimana kita melihat jalan raya sebagai media introveksi diri?

Jalanan memang muka dari suatu daerah, tidak hanya menggambarkan seberapa perhatiannya pemimpin terhadap imajinasi kemodernan, tetapi juga menggambarkan keberhasilan pendidikan. Pernyataan ini dapat dibuktikan dengan analisa sederhana. Ketika Anda berkendara, Anda akan menjumpai banyak sekali sifat manusia yang dicerminkan dari prilakunya saat mengendarai kendaraan, atau saat Ia berdesakan masuk ke dalam gerbong kereta. Atau juga bisa Anda lihat di perempatan jalan, baik yang terdapat lampu lalu lintas maupun tidak. Ingatlah bahwa perilaku mereka sangat mungkin bersal dari hasil pendidikan, baik itu yang formal atau tidak.

Saat di sekolah kejuruan mungkin kita belajar bagaimana cara membuat spanduk iklan dengan benar. Materi terkait dapat dipelajari pada pelajaran bahasa, dan seni. Kemudian saat kerja kita mempraktekannya. Atau mungkin Anda mahir membuat spanduk karena adanya bakat dan hobi mendesain. Di luar dari mata pelajaran yang Anda ambil, jauh sebelum itu guru Anda telah memperkenalkan layar monitor, keyboard, CPU, mouse, perangkat keras lainnya, dan software di dalamnya. Sehingga Anda mungkin tidak sadar bahwa pendidikan telah membuat Anda memilih profesi yang sedang Anda geluti.

Mungkin pekerjaan Anda saat ini menuntut sebuah target yang hampir tidak masuk akal. Dengan keterampilan mendesain Anda memasang spanduk iklan, namun kemudian Anda terkejut seketika setelah melihat banyaknya spanduk yang terpasang di bahu jalan. Akan tetapi Anda tetap memasang spanduk itu, dan mengabaikan spanduk yang telah Anda lihat. Saat itu juga Anda telah menjadi bagian dari mereka. Orang-orang yang percaya pada kekuatan gambar, dan tulisan pada sebuah spanduk yang dipasang seenaknya. Seklias spanduk-spanduk itu menyerupai ilalang, atau tumbuhan liar seperti di hutan rimba. Tapi benar adanya, bahwa jalanan kita hari ini bagaikan rimba raya. Bahan-bahan yang tidak mudah terurai oleh tanah itu memadati seisi kota. Terkadang kondisinya sudah tidak karuhan, dan luput oleh petugas Pramong Praja yang biasa membersihkannya.

Andai saja para ilmuan tidak menemukan kabel telepon, atau listrik, andai saja para pengetahuan informasi tidak pernah ada, mungkin kita tidak pernah menyaksikan betapa ruwetnya pemandangan di kanan dan kiri jalan raya hari ini. Mereka seperti semak belukar, dan ranting-ranting yang kering tanpa dedaunan. Pendidikan dan pengetahuan telah berjalanan membangun semua itu. Instansi pendidikan bertugas membangun karakter, dan ilmu pengetahuan bertugas membangun penemuan baru. Akan tetapi jalanan raya kita hari ini justru memberikan gambar bahwa betapa sembrononya orang-orang berpendidikan itu.

Melihat berita politik hari ini sungguh terasa abstrak, di mana salah satu paslon terus menyuarakan etika. Banyak invastruktur dibangun tanpa memperhatikan etika katanya. Sehingga lingkungan alam kita yang kaya ini menjadi rusak. Banyak orang mengais rezeki, berjuang keras untuk anak dan istrinya di rumah tapi mereka lupa telah memakai hak pejalanan kaki di atas trotoar. Ada banyak supir angkutan umum, baik yang mangkal maupun online. Mereka siap siaga menanti penumpang, saat berada di jalan. 

Pandangannya lurus ke depan jalan. Sayangnya beberapa dari mereka tidak sadar bahwa roda kendaraannya telah beridiri di atas garis putih. Ia sadar telah memakai hak pejalanan kaki yang ingin menyebrang. Begitu juga dengan para pengendara lain yang ugal-ugalan dan berani menerobos lampu merah hanya karena tidak ada polisi lalu lintas yang bertugas. Mereka lupa soal hukum yang berlandaskan etika, itu karena mereka kalah dengan urusan pencukupan ekonomi, atau mungkin mereka kalah dengan rasa kesombongan diri. 

Mungkin mereka pernah sekolah walaupun tidak pernah lulus, atau mungkin mereka sekolah sampai perguruan tinggi akan tetapi lowongan pekerjaan tertutup untuk mereka. Atau barang kali mereka memang punya gelar sarjana, punya pekerjaan dan gaji yang lumayan tinggi. Tapi mereka kalah dengan uang yang mencongkakkan hati mereka, sehingga abai dengan ajaran guru-guru mereka di ruangan kelas dahulu. Entahlah, yang jelas jangan pernah lupa bahwa etika juga diajarkan dalam pendidikan, tepatnya dalam pelajaran agama. Dan sungguh sangat disayangkan, negeri yang memiliki idiologi Ketuhanan Yang Maha Esa ini tidak memperhatikan perintah-perintah Tuhannya.

Dari tahun ke tahun kendaraan selalu diupgrade. Dari berbahan bakar premiun menuju listrik yang konon katanya ramah lingkungan, atau bioetanol yang konon katanya selain ramah lingkungan dapat menggantikan energi fosil. Selain itu bahan bakar bioetanol ini tidak terbatas seperti minyak bumi, karena ia berasal dari tebu, ubi, singkong juga jagung yang tumbuh subur di negeri ini. Berkat bantuan para ilmuan energi alternatif ini ditemukan. Dan tentunya keintelektualan mereka merupakan hasil dari pendidikan. 

Akan tetapi mereka tidak hanya bergelut dengan teori dan pengetahuan, mereka juga harus memiliki strategi pasar. Bersaing dengan para Raja Minyak diseluruh penjuru bumi yang mungkin bisa menggunakan segala cara agar minyak mereka masih dapat menghasil uang, dan tidak kalah saing dengan bioetanol ini. Sementara itu kendaraan listrik sedang naik daun belakangan ini. Jadi siapa yang akan menang pendidikan atau cuan?

Seperti halnya jalanan kita yang semrawut, dualisme pendidikan di negeri ini mungkin gambaran akarnya. Kemenentrian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementrian Agama, membangun dualisme itu. Antara pendidikan religus dengan pendidikan yang membangun pengetahuan dan ketrampilan, dipisahkan dengan lembaga yang berbeda. Sehingga setiap instansi sekolah memiliki nilai pasar yang berbeda. Buktinya instasi sekolah kita menjadi cukup variatif, antara religus dengan pengetahuan lain terkonsep secara terpisah namun beragam kepercayaan. 

Ada pula anatara religus dengan pengetahuan lain yang terkonsep menjadi satu instansi sekolah, namun yang diajarkan hanya sebatas ritual rutin dan hafalan saja. Mereka menjalankan pendidikan religus sekaligus pengetahuan, ketrampilan, dan karakter Profil Pelajar Pancasila secara bersamaan. Tidak hanya menambah tanggung jawab guru, tetapi juga menjadikan tujuan pendidikan semakin abstrak dan rumit untuk dipahami orang tua yang berpikir sederhana. "Anak saya mau disekolahan ke sekolah Islami agar pandai menghafal Al Quran, umum tapi internasional supaya lebih toleran terhadap sesama, atau sekolah negeri yang gratis dan dekat rumah?" Tentunya yang murah meriah akan menjadi pilihan utama.

Sayang sekali, beberapa kasus justru mengajarkan anak mereka tidak baik. Seperti membeli bangku, dan melakukan semua upaya rekayasa berkas agar anaknya lulus seleksi zonasi dan masuk sekolah negeri. Tentunya orang tua mereka membayar semua itu dengan uang. Dan anak-anak mereka pastilah sudah mengerti, karena anak zaman milenial lebih mudah dewasa. Alhasil mereka tahu bahwa uang bisa membeli banyak hal termasuk kejujuran, sebab belajar dari orang tua mereka sendiri. Sungguh kasihan bapak/ibu guru yang menangis melihat anak didiknya tertilang polisi, akibat berani mengendarai kendaraan pribadi milik ayahnya sendiri tanpa dilengkapi suarat mengemudi. Lalu berteriak kepada petugas "Bapakku seorang bupati!" Namun percayalah, adapula pelajar kita yang baik.

Sejumlah influencer yang menyuarakan lingkungan, mereka bekerja bakti membersihkan sampah di jalan, gorong-gorong, sungai, pantai, sampai ke ujung pegunungan. Kesadaran mereka berasal dari hati yang berhasil disentuh oleh pendidikan bukan uang seperti anak bupati di atas. Akan tetapi mereka adalah kelompok kecil yang hadir akibat dari buruknya hasil pendidikan di negeri ini. Sementara dengan arus informasi super cepat seperti saat ini, kita dapat menyaksikan pada layar berita bahwa di negeri sakura sana tepatnya di Shimabara orang-orang berhasil membuat ikan koi dapat hidup di gorong-gorong dan selokan atau got jalan raya. Sampai kapan kita mengakui bahwa pendidikan kita tertinggal dari Jepang.

Sadarilah sedari dini, bahwa hasil pendidikan dapat kita baca hanya dengan berjalan kaki di jalan raya. Tidak perlu berlari atau menaiki kendaraan ekstra cepat yang justru membuat kita tidak sanggup melirik dengan permasalahan pendidikan kita hari ini. Jalan raya dan semua pernak-pernik yang menghiasinya adalah wajah pendidikan kita beberapa tahun yang lalu atau bahkan hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun