Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jalan Raya adalah Wajah Pendidikan Kita

3 September 2024   19:30 Diperbarui: 3 September 2024   19:37 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari tahun ke tahun kendaraan selalu diupgrade. Dari berbahan bakar premiun menuju listrik yang konon katanya ramah lingkungan, atau bioetanol yang konon katanya selain ramah lingkungan dapat menggantikan energi fosil. Selain itu bahan bakar bioetanol ini tidak terbatas seperti minyak bumi, karena ia berasal dari tebu, ubi, singkong juga jagung yang tumbuh subur di negeri ini. Berkat bantuan para ilmuan energi alternatif ini ditemukan. Dan tentunya keintelektualan mereka merupakan hasil dari pendidikan. 

Akan tetapi mereka tidak hanya bergelut dengan teori dan pengetahuan, mereka juga harus memiliki strategi pasar. Bersaing dengan para Raja Minyak diseluruh penjuru bumi yang mungkin bisa menggunakan segala cara agar minyak mereka masih dapat menghasil uang, dan tidak kalah saing dengan bioetanol ini. Sementara itu kendaraan listrik sedang naik daun belakangan ini. Jadi siapa yang akan menang pendidikan atau cuan?

Seperti halnya jalanan kita yang semrawut, dualisme pendidikan di negeri ini mungkin gambaran akarnya. Kemenentrian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementrian Agama, membangun dualisme itu. Antara pendidikan religus dengan pendidikan yang membangun pengetahuan dan ketrampilan, dipisahkan dengan lembaga yang berbeda. Sehingga setiap instansi sekolah memiliki nilai pasar yang berbeda. Buktinya instasi sekolah kita menjadi cukup variatif, antara religus dengan pengetahuan lain terkonsep secara terpisah namun beragam kepercayaan. 

Ada pula anatara religus dengan pengetahuan lain yang terkonsep menjadi satu instansi sekolah, namun yang diajarkan hanya sebatas ritual rutin dan hafalan saja. Mereka menjalankan pendidikan religus sekaligus pengetahuan, ketrampilan, dan karakter Profil Pelajar Pancasila secara bersamaan. Tidak hanya menambah tanggung jawab guru, tetapi juga menjadikan tujuan pendidikan semakin abstrak dan rumit untuk dipahami orang tua yang berpikir sederhana. "Anak saya mau disekolahan ke sekolah Islami agar pandai menghafal Al Quran, umum tapi internasional supaya lebih toleran terhadap sesama, atau sekolah negeri yang gratis dan dekat rumah?" Tentunya yang murah meriah akan menjadi pilihan utama.

Sayang sekali, beberapa kasus justru mengajarkan anak mereka tidak baik. Seperti membeli bangku, dan melakukan semua upaya rekayasa berkas agar anaknya lulus seleksi zonasi dan masuk sekolah negeri. Tentunya orang tua mereka membayar semua itu dengan uang. Dan anak-anak mereka pastilah sudah mengerti, karena anak zaman milenial lebih mudah dewasa. Alhasil mereka tahu bahwa uang bisa membeli banyak hal termasuk kejujuran, sebab belajar dari orang tua mereka sendiri. Sungguh kasihan bapak/ibu guru yang menangis melihat anak didiknya tertilang polisi, akibat berani mengendarai kendaraan pribadi milik ayahnya sendiri tanpa dilengkapi suarat mengemudi. Lalu berteriak kepada petugas "Bapakku seorang bupati!" Namun percayalah, adapula pelajar kita yang baik.

Sejumlah influencer yang menyuarakan lingkungan, mereka bekerja bakti membersihkan sampah di jalan, gorong-gorong, sungai, pantai, sampai ke ujung pegunungan. Kesadaran mereka berasal dari hati yang berhasil disentuh oleh pendidikan bukan uang seperti anak bupati di atas. Akan tetapi mereka adalah kelompok kecil yang hadir akibat dari buruknya hasil pendidikan di negeri ini. Sementara dengan arus informasi super cepat seperti saat ini, kita dapat menyaksikan pada layar berita bahwa di negeri sakura sana tepatnya di Shimabara orang-orang berhasil membuat ikan koi dapat hidup di gorong-gorong dan selokan atau got jalan raya. Sampai kapan kita mengakui bahwa pendidikan kita tertinggal dari Jepang.

Sadarilah sedari dini, bahwa hasil pendidikan dapat kita baca hanya dengan berjalan kaki di jalan raya. Tidak perlu berlari atau menaiki kendaraan ekstra cepat yang justru membuat kita tidak sanggup melirik dengan permasalahan pendidikan kita hari ini. Jalan raya dan semua pernak-pernik yang menghiasinya adalah wajah pendidikan kita beberapa tahun yang lalu atau bahkan hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun