Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jalan Raya adalah Wajah Pendidikan Kita

3 September 2024   19:30 Diperbarui: 22 September 2024   13:30 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Instagram/mochyusyunus

Mereka seperti semak belukar, dan ranting-ranting yang kering tanpa dedaunan. Pendidikan dan pengetahuan telah berjalan membangun semua itu. Instansi pendidikan bertugas membangun karakter, dan ilmu pengetahuan bertugas membangun penemuan baru. Akan tetapi jalanan raya kita hari ini justru memberikan gambar bahwa betapa sembrononya orang-orang berpendidikan itu.

Melihat berita politik hari ini sungguh terasa abstrak, di mana salah satu paslon terus menyuarakan etika. Banyak invastruktur dibangun tanpa memperhatikan etika katanya. Sehingga lingkungan alam kita yang kaya ini menjadi rusak.

Banyak orang mengais rezeki, berjuang keras untuk anak dan istrinya di rumah tapi mereka lupa telah memakai hak pejalan kaki di atas trotoar. Ada banyak supir angkutan umum, baik yang mangkal maupun online. Mereka siap siaga menanti penumpang, saat berada di jalan. 

Pandangannya lurus ke depan jalan. Sayangnya beberapa dari mereka tidak sadar bahwa roda kendaraannya telah beridiri di atas garis putih. Ia sadar telah memakai hak pejalan kaki yang ingin menyebrang.

Begitu juga dengan para pengendara lain yang ugal-ugalan dan berani menerobos lampu merah hanya karena tidak ada polisi lalu lintas yang bertugas. Mereka lupa soal hukum yang berlandaskan etika, itu karena mereka kalah dengan urusan pencukupan ekonomi, atau mungkin mereka kalah dengan rasa kesombongan diri. 

Mungkin mereka pernah sekolah walaupun tidak pernah lulus, atau mungkin mereka sekolah sampai perguruan tinggi akan tetapi lowongan pekerjaan tertutup untuk mereka. Atau barang kali mereka memang punya gelar sarjana, punya pekerjaan dan gaji yang lumayan tinggi. Tapi mereka kalah dengan uang yang mencongkakkan hati mereka, sehingga abai dengan ajaran guru-guru mereka di ruangan kelas dahulu. Entahlah, yang jelas jangan pernah lupa bahwa etika juga diajarkan dalam pendidikan, tepatnya dalam pelajaran agama. Dan sungguh sangat disayangkan, negeri yang memiliki ideologi Ketuhanan Yang Maha Esa ini tidak memperhatikan perintah-perintah Tuhannya.

Dari tahun ke tahun kendaraan selalu diupgrade. Dari berbahan bakar premium menuju listrik yang konon katanya ramah lingkungan, atau bioetanol yang konon katanya selain ramah lingkungan dapat menggantikan energi fosil.

Selain itu bahan bakar bioetanol ini tidak terbatas seperti minyak bumi, karena ia berasal dari tebu, ubi, singkong juga jagung yang tumbuh subur di negeri ini. Berkat bantuan para ilmuan energi alternatif ini ditemukan. Dan tentunya keintelektualan mereka merupakan hasil dari pendidikan. 

Akan tetapi mereka tidak hanya bergelut dengan teori dan pengetahuan, mereka juga harus memiliki strategi pasar. Bersaing dengan para Raja Minyak di seluruh penjuru bumi yang mungkin bisa menggunakan segala cara agar minyak mereka masih dapat menghasil uang, dan tidak kalah saing dengan bioetanol ini. Sementara itu kendaraan listrik sedang naik daun belakangan ini. Jadi siapa yang akan menang pendidikan atau cuan?

Seperti halnya jalanan kita yang semrawut, dualisme pendidikan di negeri ini mungkin gambaran akarnya. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Kementerian Agama, membangun dualisme itu. Antara pendidikan religius dengan pendidikan yang membangun pengetahuan dan keterampilan, dipisahkan dengan lembaga yang berbeda. Sehingga setiap instansi sekolah memiliki nilai pasar yang berbeda. Buktinya instansi sekolah kita menjadi cukup variatif, antara religius dengan pengetahuan lain terkonsep secara terpisah namun beragam kepercayaan. 

Ada pula antara religius dengan pengetahuan lain yang terkonsep menjadi satu instansi sekolah, namun yang diajarkan hanya sebatas ritual rutin dan hafalan saja. Mereka menjalankan pendidikan religius sekaligus pengetahuan, ketrampilan, dan karakter Profil Pelajar Pancasila secara bersamaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun