Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jalanan Tempat Baliho Bersemayam

28 Agustus 2024   07:24 Diperbarui: 22 September 2024   13:27 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang terlintas di benak Anda ketika melihat banyaknya baliho dan spanduk iklan di jalan raya? Pernahkah Anda menghafalnya secara perisis, berikut dengan letak, gambar, dan kutipan bahasa yang digunakan?

Sepertinya tidak, kan? 

Kita sering melihat iklan, spanduk, dan baliho lain sambil lalu saja, setelah itu kita tidak perduli apa isinya. Spanduk di jalan sudah menjadi bagian dari budaya promosi di Jepang sejak lama.

Dalam bahasa Jepang, spanduk di jalan disebut sebagai "yoko chochin", yang artinya "Lampu Kain Horizontal". Spanduk tersebut biasanya digantungkan di dekat toko atau restoran sebagai bentuk promosi.

Jalanan kita saat ini tidak hanya berisi kendaraan dan masalah kemacetan, akan tetapi juga jalanan kita di zaman yang serba digital ini telah dipenuhi dengan masalah yang baru.

Masalah ini datang dari berbagai kalangan yang percaya bahwa jalanan adalah beranda yang tepat dan fasilitas cepat untuk mendapatkan segmentasi, marketing, perhatian publik, dan cuan.

Iklan di jalan raya saat ini mungkin lebih masuk akal disebut sebagai vandalis, terutama bagi mereka yang memasang spanduk iklan di jalan secara liar. Apalagi di tahun politik seperti saat ini.

Kondisi jalanan seketika berubah bak album foto, terutama ada banyak foto calon legislatif yang terpampang jelas. Yang mungkin sebelumnya tidak pernah populer atau tidak pernah familiar. 

Salah satu yang paling banyak adalah baliho kampanye, sampai-sampai mereka lupa bahwa suara mereka mengalahkan suara rakyatnya. Sebenarnya kita tidak perlu sering-sering melihat wajah Ridwan Kamil di jalan raya, apa lagi dalam keadaan sedang mengemudi. Karena jika mobil si sopir tergelincir dan menabrak pengemudi lain hingga terjadi kecelakaan beruntun, pasti polisi akan mencatat bahwa si sopir mengantuk atau ugal-ugalan di jalan. Bukan karena gagal fokus akibat terlalu asyik memandangi wajah seseorang calon pemimpin di dalam baliho. Atau, terprovokasi dengan isi baliho yang mengajak orang lain itu.

Ada ribuan spanduk yang mungkin memenuhi sepanjang jalan dari rumah menuju tempat kerja, atau dari tempat kerja ke rumah Anda sekalian. Memberikan gambaran bahwa jalanan dianggap sebagai tempat yang strategis untuk mengenalkan sesuatu yang padahal sepanjang jalan dari kantor ke rumah, mungkin bisa jadi tidak ada satu pun spanduk yang kita lihat. Apalagi jika posisi kita sedang mengemudi.

Lain halnya dengan penumpang angkutan umum atau transportasi masal lainnya. Ia yang tidak melakukan apa-apa kecuali hanya memperhatikan lingkungan sekitar dan lingkungan yang dilaluinya, tentunya Ia bisa melihat dan menyaksikan. Meskipun sampil lalu, dan kemudian melupakannya.

Memang analisa seperti ini tidak menggunakan metode dan data yang akurat, dan padahal jika kita memasang iklan pada surat kabar ataupun media digital, kita bisa mendapatkan data dan jumlah tayangan seperti pada Google Ads atau Google Adsense.

Dengan data yang valid kita bisa memutuskan bahwa suatu iklan yang kita pasang dapat diukur mana yang Lebih efisien, iklan pada jalan raya atau Iklan di sosial media. 

Seseorang dengan mobilitas cepat, tidak mungkin saat mengendarai kendaraan ia sempat membaca iklan. Dan mereka tidak mungkin menyempatkan diri untuk meleng, melengos atau mangkir dari pandangannya ke jalan raya. la akan lebih mengutamakan untuk membaca petunjuk jalan, melihat suasana jalan, atau cuaca.

Inilah kondisi jalan raya kita yang dipenuhi spanduk iklan, meskipun tidak tentu dibaca oleh orang yang berlalu lalang namun cara demikian diyakini sebagai jemput bola yang efektif. Tampaknya orang dengan popularitas, jabatan, gelar, dan kekuasaan di negeri ini mempercayai hal itu. Meskipun tidak dilengkapi fitur analisa dan jumlah tayangan.

Poster Iklan, baliho, dan spanduk lainnya yang terpasang pada kanan kin bahu jalan yang diikat pada tiang listrik, pohon, pagar, dan lain sebagainya itu menunjukkan bahwa orang-orang kita lebih percaya kepada nalar logika serampangan.

Jalan raya dan carut marutnya iklan berbentuk spanduk, poster, atau baliho adalah pernak-pernik yang paling tidak masuk akal di jalan raya. Jalan raya semestinya dilengkapi dengan zebra cross, trotoar, jembatan penyebrangan, rambu-rambu lalu lintas yang sederhana dan dengan simbol yang mudah untuk di mengerti. Sebab jalanan bukan tempat yang tepat untuk membaca visi misi caleg, kecuali kalau dia seorang pejalan kaki yang hendak beristirahat di sebuah "kedai nutri sari" dan punya banyak waktu sekaligus bebas dari risiko untuk mempertanyakan diri, "Kenapa aku harus melihat baliho itu?" Dan Sekali lagi jalanan telah memberikan gambaran kepada kita bahwa ada banyak orang lucu, yang tidak sadar telah membuat kelucuan.

Meletakan spanduk iklan, promosi, atau lainnya bukanlah sebuah kesalahan. Akan tetapi yang perlu dikaji adalah apakah khalayak akan membacanya? Atau apakah orang-orang di jalan memerlukannya. Apalagi jika isi kontennya berisi banyak tulisan. Sehingga memasang baliho, spanduk, iklan, promosi, atau himbauan perlu melakukan penyederhanaan dengan memuat konten yang tidak cukup dibaca sekejap mata saja. Seperti spanduk yang berupa gambar, simbol, atau nama daerah penting. 

Sekali lagi, jalanan telah memberikan kepercayaan lain kepada manusia di negeri ini. Tempat di mana data hasil analisa tidak menjadi poin utama, akan memberikan gambaran bahwa masyarakat kita percaya kepada hal yang tidak irasional.

Dan memang seperti itulah sifat manusia, kadang kala sesuatu yang irasional menjadi kepercayaan mutlak. Kepercayaan yang dimiliki manusia sejak lahir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun