Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Banyak Instansi Pendidikan yang Tidak Bangga Berbahasa Indonesia

28 Mei 2023   12:24 Diperbarui: 29 Mei 2023   09:27 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mana yang lebih dahulu muncul, bahasa atau persepsi?

Kenapa banyak nama instansi pendidikan berbahasa asing?

Seberapa jauh daya tarik bahasa asing ketimbang bahasa pemersatu kita?

Pergeseran bahasa asing di negeri sendiri telah menjadi momok bagi para ahli bahasa. Kenapa demikian, karena hanya ahli bahasa saja dan kalangan peneliti yang memperhatikan hal ini. Semuanya bermula dari kecendrungan kita untuk mengagungkan budaya barat. 

Melalui jalur penjajahan bahasa asing seperti bahasa Inggris menjadi benalu yang terus menghisap bahasa ibu kita di tengah pergaulan kaula muda. Jauh sebelum campur kode bahasa asing merambah ke pergaulan anak remaja di Jakarta selatan, bahasa asing telah masuk di kalangan akademis kita. Sebenarnya tidak salah mempelajari bahasa asing, siapapun berhak mempelajari bahasa dari berbagai negara. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah ketika adanya campur kode antara bahasa asing dengan bahasa pemersatu, apalagi kalau bahasa asing tersebut sampai menginterferensi bahasa kita.

Bahasa asing seperti bahasa Inggris awalnya dipelajari oleh pribumi kita untuk membaca ilmu pengetahuan dan buku-buku dari barat. Namun lambat laun, bahasa asing ini kemudian memunculkan citra tersendiri. Selain masuk sebagai salah satu persyaratan dalam poster lowongan kerja, dengan mahir mengucapkan dua patah kata bahasa asing, penutur terlihat lebih intelek dihadapan lawan tuturnya. Bahasa asing memberikan kendali tersendiri bagi pribumi kita untuk dianggap terpandang. 

Akan tetapi persepsi ini seharunya segera disudahi. Karena tidak menutup kemungkinan bahasa pemersatu kita makin lama akan semakin hilang, jikalau semua orang sudah memiliki persepsi yang sama dalam menggunakan bahasa asing. Bahasa yang dinilai, keren, elegan, intelek, dan memberikan daya tarik.

Salah satu penyababnya selain dari pengetahuan barat, bahasa asing masuk ke negeri ini melalui budaya, karya seni, teknologi, kepercayaan, dan produk. Yang semula dituturkan oleh satu dua orang penutur bahasa, menjadi beberapa golongan orang penutur bahasa, kemudian menjadi beberapa kelompok penutur bahasa asing, dan sekarang sudah kemana-mana. Bahasa asing bahasa Inggris kerap kita jumpai di mana-mana. Harus diakui memang, pengaruh penjajahan membuat bahasa Inggris tumbuh subur di negeri ini. 

Akan tetapi beruntungnya, masih banyak dari kelompok penutur bahasa kita yang lebih memilih berbahasa daerah dan bahasa pemersatu sebagai ciri khas mereka. Akan tetapi kebanyak dari mereka adalah orang tua, mungkin berumur lima puluh sampai tujuh puluh tahun. 

Di mana mereka menggunkan bahasa asing sesuai tempat dan waktunya. Tidak seperti yang terjadi saat ini. Anak-anak muda kita yang gemar bermain media sosial, nonton youtube siang malam, atau bermain game dengan merdeka, mereka mengenal bahasa asing seperti bahasa Inggris secara sepintas saja. Sepintas inilah yang kemudian Ia contohkan dengan polos. Sehingga terbentuklah apa yang disebut sebagai interferensi bahasa. Masih hangat dalam telinga kita kata seperti, gaes, wicis, otw, nolife, dan lain sebagainya. Kata-kata tersebut biasanya kerap terselip dalam kalimat berbahasa Indonesia, sehingga kaidah dan struktur bahasa Indonesia menjadi rusak seperti, "sebentar lagi saya otw Pak."

Kita perlu melihat juga masalah yang terjadi di negara serumpun kita, yaitu Malaysa. Bahasa melayu di negeri Jiran dianggap telah diambang kehancurnya. Pasalnya karena banyak anak-anak muda di sana yang mulai sering berbahasa Indonesia ketimbang berbahasa melayu. Bahkan bahasa gaul seperti "lo" dan "gue" mulai mereka konsumsi. Salah satu faktornya karena kebudayaan kita telah sampai ke negeri Jiran tersebut melalui film, dan lagu, yang banyak diputar pada stasiun televisi mereka.

Sebelumnya kita telah mengenal nama almarhum WS. Rendra, sastrawan yang mempengaruhi penyair melayu untuk menggunakan bahasa Indonesia. Selain dari segi keindahan bunyi, salah satu faktornya adalah bahwa bahasa pemersatu kita mudah untuk diucapkan, dan huruf yang dibacapun sesuai dengan alfabetnya. Tidak hanya itu, bahsa pemersatu kita tidak menggunakan kata ganti yang rumit. Bunyi nama-nama benda tidak terpengaruh dengan pronomina, sehingga tidak begitu sulut untuk dihafalkan. 

Saat ini negeri Jiran ingin mengusung penggunaan bahasa yang lebih praktis, berbagai ahli mengajukan bahasa Melayu berubah nama menjadi Melayu Indonesia. Agar bahasa Melayu tidak dilupakan, tetapi juga masih bisa terus berkembang seperti bahasa Indonesia. Menarik bukan? Tapi bagaimana dengan kita, pemilik bahasa pemersatu itu?

Sayang sekali, kita tahu bahwa sekolah merupakan salah satu instansi pendukung yang paling kuat dalam membangun nasionalisme berbahasa. Akan tetapi beberapa instansi sekolah cendrung terbawa oleh asmofir berbahasa asing. Tempat di mana idealis seharunya tumbuh subur, kini malah digunakan untuk ladang kemakmuran bagi pemiliknya. Alhasil sejumlah nama instansi sekolah di negeri ini banyak sekali yang menggunakan bahasa asing sebagai daya tariknya. Salah satu contohnya mungkin Anda familiar dengan nama sekolah berbahasa arab, atau nama sekolah Islam akan tetapi berbahasa Inggris. 

Misalnya, SDIT AL Iman, SDI Al Hussain, SMP Plus, Sekolah Progresive atau SMA Global Islamic, dan lain sebagainya. Salah satu penyebabnya ya karena penggunaan bahasa asing dianggap dapat mendatangkan daya tarik, semakin menarik nama itu samkin banyak siswa yang mendaftar, dan target pasar mereka tentunya para orang tua. Entah apa yang mereka buat dengan nama-nama itu. Pandangan pendidikan semacam apa sebenarnya yang tergambar dalam nama-nama instansi mereka. 

Padahal di kota-kota besar banyak nama instansi sekolah yang cukup bangga dengan bahasa ibunya, seperti SMA Budi Luhur, SMA Citra Bangsa, atau SMA Setia Negara. Bukan hanya mereka bangga dengan memberikan nama seperti itu, kita pun mudah mengingat nama-nama sekolah berbahasa Indonesia seperti ini. Dan jikalau kita dengar sekali lagi, nama-nama instansi sekolah dengan bahasa Indonesia justru terdengar lebih enak, dan lebih elegan. Tapi entahlah, bagaimana dengan persepsi Anda?

Di mana lagi kita bisa belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar kalau bukan di sekolah. Sementara sekolah sendiri tidak mencerminkan citranya sebagai instansi satuan pendidikan yang setiap tahunnya mencetak para alumnus-almunus berpengetahuan. 

Katanya sekolah adalah tempat untuk membentuk karakter setiap anak agar menjadi pemuda pancasila yang tangguh, dan siap menghadapi tantangan industri. Tapi karakter yang seperti apa? Bukankah bahasa juga bagian dari karakter seseorang? Dan apa artinya membentuk karakter jika pengaruh budaya asing terang-terangan di pampang dalam brosur-brosur penerimaan peserta didik tahun ajaran baru? Oh, mungkin instansi sekolah yang menggunakan nama berbahasa asing ini ingin memasukan bahasa asing sebagai karakter lulusan mereka. Eh, tapi bagaimana dengan bahasa Indonesia kalau seperti itu caranya? Sebenarny persepsi siapa yang salah? 

Kita sering menjumpai spanduk-spanduk salah huruf di jalan raya yang bertuliskan bahasa Indonesia. Bukan hanya terkesan lucu untuk dijadikan guyonan, akan tetapi sekaligus memperlihatkan kalau warga kita masih salah menggunakan bahasa Indonesia baik itu tertulis maupun lisan. Saya yakin kepada guru-guru bahasa Indonesia kita, mereka telah mengajarkan sesuatu meskipun harus sedikit berperang melawan egoisme pemilik sekolahnya. Mencoba mengajarkan apa yang seharusnya diajarkan, melalui teks fiksi atau pun nonfiksi.

Saya yakin guru-guru kita telah berjuang agar bahasa Indonesia tetap menjadi bahasa pemersatu tanpa hilang kesopanan dan kesantunannya. Akan tetapi pertanyaannya adalah kenapa kita tidak terlalu tertarik? Dan mungkin kita bertanya-tanya, orang Indonesia kok masih harus belajar bahasa Indonesia? Mungkin ada satu langkah tenknis yang terlewat dari guru-guru kita saat mengajarkan pelajaran bahasa Indonesia.

Ini bukan hanya sekedar persepsi, tetapi juga paradigma. Kita harus melakukan upaya yang besar untuk mempertahankan bahasa kita ini. Karena meruntuhkan paradigma bukanlah sesuatu yang mudah. Meskipun upaya tersebut terlihat besar, karena kita melawan para instansi yang telah mencontohkan interferensi bahasa asing sebagai nama sekolah atau mungkin program sekolah mereka, akan tetapi ini bisa menjadi mudah jikalau semua orang memiliki pandangan yang sama, yaitu menumbuhkan kecintaan terhadap apa-apa yang lahir di bangsa sendiri. 

Para guru bahasa mulai giat mencari cara agar siswanya merasa antusias mempelajari bahasa Indonesia, pedagang dan pembisnis memilih untuk merubah persepsi mereka agar menggunakan nama produk dengan nama Indonesia, para juru tulis, pejabat, penulis naskah lagu, penulis naskah film, dan semua kalangan penutur bahasa Indonesia bergotong-royong untuk membentuk iklim bangga berbahasa Indonesia. Bisa di mulai dari tulisan ini, Anda sebagai pembaca, atau Anda sebagai sesama penulis.

Mulai saat ini kita perlu merubahan pola pikir kita. Bahasa asing atau bahasa Indonesia keduanya sama-sama unik, karena memang demikianlah hakikat bahasa. Tinggal kita saja yang pandai memilih setiap kata dalam bahasa Indonesia agar menjadi frasa yang menarik, indah dan mudah didengar. Belakangan mulai ada nama produk dengan bahasa Indonesia, seperti Kopi Kenangan, Bukan Cuma Ayam, Orang Tua, dan masih banyak lagi. Setidaknya masih ada harapan bahwa bahasa Indonesia masih dapat menarik persepsi, dan terutama dapat menjual seperti halnya bahasa asing. Tinggal bagaimana kita untuk memulainya. 

Padahal persepsi tentang suatu nama berbahasa asing dibuat oleh pandangan si penemu nama itu. Katakanlah ada seseorang kepala yayasan yang baru saja mengangkat kepala sekolah, kemudian kepala sekolah yang baru itu terkejut karena nama sekolahnya menggunakan nama asing. 

Saat rapat berlangsung untuk pembuatan visi misi, Si Kepala Sekolah yang baru dilantik ini kemudian mengusulkan agar menggunakan nama berbahasa Indonesia saja. Akan tetapi usulan itu dibantah, karena oleh kepala yayasan dianggap tidak menjual dan tidak menarik. Kurang lebih seperti itulah pemodal memaksa guru-guru kita untuk menggunakan bahasa asing di sekolah, bahkan untuk nama sekolahnya sendiri. Sekarang kita tidak perlu mengandalkan mereka, sebagai penutur yang cinta dengan bahasa sendiri marilah kita sendiri yang memulai perbuhan.

"Utamakan bahasa Indonesia, Lestarikan bahasa Daerah, dan Kuasai bahasa Asing."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun