Saat kendaraan hampir mendakati jalanan keluar wilayah tersebut, jalanan baru kembali halus lagi. Seolah-olah ada yang sengaja ingin diperlihatkan, sekaligus ditutupi.Â
Dan ini semua bukanlah sebuah rahasia umum, akan tetapi sudah menjadi konsumsi masal. Kalau sudah begini, bagaimana cara kita dalam mempelajari tahun politik yang sekarang sedang berlangsung, sementara masa-masa yang lewat telah memberikan kita banyak ketimpangan dalam pembuatan invastruktur jalan raya yang sudah sangat lucu ini? Apakah ada yang tidak membuat kita kecewa? Apakah mungkin, kepercayaan akan pemilihan di hari depan dapat meningkat? Selama ini yang kita percaya ya, jalanan akan kembali bagus kalau tiba masa pemilu.
Itu dia, konon katanya pergantian kepemimpinan akan memberikan perubahan yang nyata. Keyakinan rakyat kepada kampanye yang dilakukan oleh seorang calon pemimpin serupa dengan mitos, yaitu harapan rakyat akan dibuatkan jalanan raya yang mulus.Â
Jalan raya yang di mana orang-orang dapat berlalu lalang tanpa terjadi gangguan, tanpa resiko kecelakaan, tanpa resiko kerusakan mesin, dan lain sebagainya. Dan sayangnya selama ini, harapan-harapan itu menjadi strategi kampanye yang manjur, sebab dimainkan dengan cukup terampil.Â
Barangkali kondisi jalan raya yang rusak sengaja dibiarkan untuk menjadi bahan kampanye di tahun depan. Atau soal uang, nah kalau yang satu itu, biar posisi kuat saja yang akan mengungkapkan. Kita tahu bahwa jalanan adalah wajah, muka kita semua. Di mana saat kita membuka pintu rumah, yang pertama kita lihat adalah jalan raya. Atau ketika kita berkunjung ke kampung tetangga untuk kondangan, maka hal pertama yang kita lihat bukanlah janur kuning di pertigaan jalan, melainkan kondisi jalan rayanya.Â
Kemudian apakah pemerintah setempat bertindak cepat dalam menanggapi jalanan yang rusak? Kayak-kayaknya tidak. Biasanya jalanan akan mulus di dua tahun pertama pembangunannya, atau di dua tahun pertama si bapak bupati naik tahta. Kira-kira jalanan akan mulai hancur di tahun ketiga, dan dalam tahun itu kondisi jalan raya mulai mengancam warga. Kemudian jalanan akan rusak parah pada dua tahun selanjutnya, di tahun-tahun terakhir pergantian kursi kepemimpinan sebelum kembali diaspal atau diganti dengan batu, kawat besi, seman, dan pasir oleh pemimpin yang baru.Â
Mungkin saja kita sudah terbiasa akan hal itu, dan telah mengetahuinya sejak lama. Dan kita pula tidak pernah diam, malahan kita sendiri yang harus berkerja bakti. Kemana perginya para teknisi?
Jika bukan oleh diri kita sendiri lalu siapa lagi, kira-kira seperti itulah bunyi motivasinya. Semoga bapak-bapak yang sedang menunggu pilpres tiba membaca masalah ini. Kita memang bangsa yang suka bergotong royong, jangankan untuk membuat masjid, dan musala, pekerjaaan yang seharusnya dikerjaan oleh orang ahli saja bisa dikerjakan dengan sistem kebersamaan.Â
Negara perlu berterima kasih kepada bapak-bapak yang melakukan usaha kolektif untuk mengecor jalannya sendiri, sekaligus gorong-gorongnya. Negara juga perlu berterima kasih kepada para ibu-ibu yang berjuang di dapur mereka untuk memberikan dorongan semangat kepada suami-suami mereka.Â
Jika tulisan ini memuat data, desa mana saja atau kampung mana saja yang telah melakukannya pastilah terlalu banyak. Karena saking banyaknya kaum bapak-bapak di seluruh negeri ini yang berhasil membuat saluran airnya, maka meskipun mereka menggunakan uang dari hasil jerih payahnya sendiri setidaknya mereka tetap nampak bahagia. Mereka tidak pernah menanyakan kemana uang pajak yang telah dibayar. Tapi ujung-ujungnya keluar uang dan tenaga sendiri juga.
Saking lucunya kondisi jalan kita, orang-orang sebelum media sosial mengangkat telah banyak cerita humornya tentang gorong dan jalan raya yang rusak. Sayangnya cerita yang dibuat oleh orang terdahulu tidak pernah sampai menggores telinga pejabat, tinggal tutup kuping, dan mata saja. Akan tetapi di era digital seperti saat ini, pelaporan mudah dibuat, bahkan bisa dilakukan hanya dengan menggunggah vidio atau foto ke dalam maya.Â