Kenapa pendidikan selalu menjadi patokan kesuksesan materi?
Kenapa menjadi orang yang miskin ekonomi terasa biasa saja?
Bagaimana seharusnya hasil dari pendidikan dimanfaatkan?
Kenapa semakin hari belajar semakin susah, melihat handphone malah lebih mudah?
Beberapa hari lalu baru saja kita merayakan Hari Pendidikan Nasional, tanpa nuasa yang berbeda. Melalukan upacara di tanah lapang bersama siswa dan guru-guru, menghadap bendera merah putih, dan memberikan hormat yang kidmat.Â
Sementara sampai saat ini kita belum juga bisa melihat bagaimana pendidikan benar-benar telah berubah. Bukan sekedar perbedaan nama kurikulum, atau adanya program Profil Pelajar Pancasila (P5), istilah Guru Penggerak, dan Sekolah Penggerak. Karena pada kenyataannya sampai saat ini semuanya masih sama, hanya administrasinya saja yang baru, dan berbeda nama. Pada tahun ini muncul sebuah gagasan di sosial media yang berbunyi "kerja, dan sukses tidak membutuhkan ijazah."Â
Pandangan ini disebabkan karena sektor industri di bidang informatika sangat menjanjikan, dan dapat dipelajari dengan cara-cara autodidak tanpa sekolah terlebih dahulu. Seperti menjadi youtuber, jasa pengiklanan, desainer digital, dan masih banyak lagi ketrampilan yang menjanjikan dibidang telekomunikasi informatika.Â
Namun dengan perataan fasilitas internet, dan digital yang diusung oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan apakah menjadi solusi yang paling jitu? Ditambah dengan munculnya mata pelajaran informatika sebagai mapel wajib, apakah dapat dikuasi oleh siswa? Atau mungkin siswa sudah lebih dahulu mengetahuinya ketimbang gurunya sendiri? Nyatanya banyak orang yang bisa menempuh kecerdasan meskipun dianggap hidup dalam keterbatasan, dan tanpa internet.
Baru-baru ini kita mendapatkan kabar dari timur negara kita, yaitu seorang anak yang mendapatkan gelar juara 1 dunia di ajang olimpiade matematika. Dia adalah Caesar Archangels Hendrik Meo Tnunay anak sekolah dasar yang duduk di bangku kelas 2 asal Nusa Tengga Timur ini, berhasil menjadi nomor satu di Internasional Abacus World Campetition tahun 2022.Â
Sebenarnya ini bukanlah kabar membanggakan pertama yang muncul dari negeri bagian timur kita, sebelumnya telah banyak anak-anak timur yang mendapat predikat di kejuaraan internasional di bidang ilmu pengetahuan.Â
Pertanyaannya bukan seberapa banyak yang telah juara, atau siapa aja yang mendapatkan gelar tersebut akan tetapi kenapa salah satu juara berasal dari wilayah yang miskin di Indonesia, dan dianggap memiliki keterbatasan fasilitas invasruktur seperti Lala anak dari keluarga kurang mampu secara ekonomi yang berjuang untuk lolos ke jenjang Sekolah Menengah Pertama.
Di dunia pendidikan mungkin tidak asing dengan seorang profesor bernama Yohanes Surya. Ia adalah salah seorang yang dapat mengubah pandangan orang di barat tentang anak-anak Papua.Â
Banyaknya penduduk yang dianggap kurang mampu, akses fasilitas yang katanya kurang memadai seperti listrik, dan internet, belum lagi prekonomian warganya yang dianggap oleh orang barat sangat rendah. Akan tetapi di tangan Sang Profesor setidaknya anak Papua punya motivasi lebih untuk menjadi yang paling depan di negeri ini, bahkan yang paling depan di dunia.Â
Pertanyaan yang sering muncul di benak kebanyakan orang adalah, ada banyak anak pintar di Jakarta, Bandung, Surabaya, atau Jogjakarta, tapi kenapa Sang Profesor lebih memilih Papua?Â