Perjuangan kaum buruh di barat dan timur memang panjang. Usaha untuk mensejahterakan kelas pekerja tidak semudah memukul tembok yang rapuh. Bahkan aksi menuntut hak-hak kelas pekerja ini sudah bukan barang asing jika di dalamnya bermain politik suara, ekonomi, dan kekuasaan.
Lalu bagai mana dengan sejarah Hari Buruh yang terjadi di negeri ini? Sejak kapan kakek buyut kita sadar akan hak-hak mereka, dan apa-apa saja yang mereka tuntut kepada pengusaha, atau majikan mereka? Atau mereka pasrah dengan kenyataan yang ada? Atau bagaiamana?
Lembaga sosial yang berjuanga meneggakkan hak-hak kelas pekerja atau buruh, disebut sebagai Srikat Buruh. Lembaga ini dianggap potensial dalam mendorong peningkatan kesetaraan, dan keadilan sosial. Cara yang dilakukan untuk memperoleh hal tersebut adalah dengan memainkan peran mereka dalam mengorganisir kekuatan kolektif.
Nemun mereka tidak hanya memperjuangan kesejahteraan secara kolektif saja, mereka pula harus mengerti, dan memahami bahwa demokrasi memegang syarat mutlak dalam memperjuangankan kepentingan, kesejahteraan, kesetaraan, dan keadilan bagi kaum buruh tersebut.Â
Banyak orang menilai terutama Djumandi dalam bukunya yang berjudul "Sejarah Organisasi Buruh di Indonesia" mengatakan bahwa mereka ini pula yang mampu membawa suasana yang lebih berkeadilan di masyarakat, yang tidak hanya dinikmati dirinya sendiri tetapi juga masyarakatnya, dan karenanya menjadikan mereka bagian dari pejuang demokrasi yang konsisten.
Namun perjuangan Srikat Buruh mengalami berbagai macam pasang surut, baik dari segi strategi, maupun gerakan. Tentunya hal ini dipengaruhi oleh perubahan masa, dan kursi jabatan. Padahal yang kita tahu gerakan semacam ini kerap memunculkan semangat, dan optimisme positif seperti yang dilakukan oleh McGuire. Masa depan akan jaminan sosial, pengupahan yang layak, jam kerja yang sesuai, dan adil berda di pintu gerbang yang terus terbuka.
Nasib kaum buruh yang mengambang sudah ada sejak zaman Kolonial. Mereka adalah sekelompok masyarakat yang termasuk kaum kelas pekerja, kuli yang bekerja memotong kayu di depan mandornya yang seorang Belanda, petani yang memanen hasil bumi milik juragan pribumi kaya raya, pegawai pemerintahan yang menundukkan kepala di hadapan Gubernur Jendral Hindia Belanda, buruh kereta api, perkebunan, pertambangan, industri, jasa, pelabuhan, dan sebagainya.
Semuanya berangkat dari gerakan protes yang diorganisir oleh kaum buruh petani, secara tidak terbendungkan memberikan inspirasi kepada kaum buruh lainnya untuk melakukan usaha yang sama yaitu menggalang kekuatan secara kolektif yang diinisiasi oleh buruh yang bekerja pada perusahaan kereta api. Tuntutan mereka sama persis seperti yang dilakukan oleh kaum buruh di Amerika Srikat puluhan tahun sebelumnya.
Sebagaian besar jenis pekerjaan di zaman kolonial menuntut pekerja dengan tenaga fisik yang kuat, dan memiliki sedikit ketrampilan. Sementara banyak penduduk perkotaan yang tidak memiliki bekal kemampuan lain memilih bekerja sebagai buruh, alhasil mereka bekerja dengan upah harian yang rendah dengan hitungan perjam yang kurang masuk akal, dan jaminan pekerjaan yang tidak memastikan.
Apa lagi pada zaman ini belum ada hitung-hitungan dan hukum yang membicarakan persoalan tersebut di Hindia Belanda. Akibatnya banyak kaum buruh yang kemudian harus berpindah pekerjaan dari tempat satu ke tempat yang lainnya, meskipun pada kenyataannya hal yang sama masih mereka temukan dan alami.
Dari sensus yang dilakukan pada masa kolonial di tahun 1930 telah mencatat setidaknya ada tiga puluh sampai dengan empat puluh persen buruh pribumi di Batavia, Semarang, Surabaya, dan Bandung bekerja sebagai buruh dengan upah harian seperti layaknya seorang pesuruh.Â