Lebih lanjut lagi bagi kaum awam dan masyarakat luas, akibat efek penulis hujan yang dungu tadi banyak tentangga kita, om atau paman kita, tante atau bibi kita, atau bahkan orang tua kita sendiri selalu menjadikan hujan sebagai gara-gara.Â
Mereka memang tidak membaca buku-buku cerita tentang hujan yang membawa perasan galau bagi pembacanya, sama sekali mereka tidak suka membaca buku.
Namun menurut mereka hujan membawa kemalangan, seperti banjir, dan tanah longsor. Itu artinya memberikan gambaran bahwa penulis cerita tentang hujan yang membawa duka, dan lara ini sama seperti om atau paman kita, tante atau bibi kita, atau bahkan orang tua kita sendiri yang tidak gemar membaca.
Hujan bukan pembawa gara-gara, justru kitalah yang telah menyalahkan dan mengkambing hitamkan hujan. Padahal hujan adalah fenomena alam yang sudah sangat rutin terjadi di muka bumi ini.
Adanya banjir, dan tanah longsor bukan disebabkan oleh hujan. Justru hujanlah yang menyadarkan sebagian orang yang peka, bahwa tanah yang gundul, gorong-gorong yang mampet oleh sampah, dan semua keburukan manusia yang menjadi sebabnya. Tapi saudara-saudara kita amat sering menyalahkannya.Â
Sepertinya ada yang salah dengan literasi kita. Sekali lagi, hujan justru memberikan kita pengetahuan. Dan seharusnya kita selalu siap menyambut hujan apa lagi diakhir tahun menjelang pergantian tahun baru. Seperti kasus di Jakarta timur tadi, telah menunjukan bahwa kita gagal memahami hujan. Bukan hanya gagal dalam memahami hujan, kita juga telah gagal sebagai homo sapiens yang katanya arif dan bijaksana.
Saya sampaikan pesan ini sekali lagi, dalam menyambut hujan kita perlu pengetahuan. Dan kita harus membaca hujan dari awal lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H