Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pembaca Hujan: Duka, dan Kemalangan

29 Desember 2022   14:17 Diperbarui: 4 Maret 2023   14:33 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menulis hujan bukan sekedar menulis hujan!

Menulis tidak hanya membutuhkan bakat menulis. Tetapi juga membutuhkan bakat berpikir kritis, menganalisa, dan bukan sekedar merangkai kata-kata dalam bentuk argumentasi.

Menulis memang membutuhkan kejujuran, tetapi bukan untuk menyebarkan air sendiri, seperti kebanyakan para penulis kita. Sampai kapan para penulis kita memaknai hujan sebagai duka dan lara. Dan sampai kapan kita mencerna hujan sebagai gara-gara, contohnya seperti pada kalimat "hujan itu sebuah penjaga rahasia di mana kita bisa menangis di balik hujan" atau yang lebih parah "hujan ini turun karena kepergianmu".

Kalimat-kalimat yang ditulis oleh para pengarang ini hanya sekedar memberikan hiburan dengan kata hujan, namun sifatnya menjerumuskan.

Semakin banyak penulis tentang hujan yang penuh lara dan duka, semakin banyak pembaca puisi tentang hujan, semakin tenggelam diri kita dalam makna dan simbol yang utopis itu. Semuanya adalah rangkaian kata-kata galau yang tidak bener-benar di sampaikan oleh hujan.

Penulis memang membutuhkan bakat mengarang, tetapi tidak selamanya mengarang berangkat dari hanya sekedar ide. Mengarang berangkat dari apa yang disebut dengan hasil menganalisa. Namun kebannyakan penulis saat ini, mengarang berangkat dari kebutuhan sigmentasi. 

Atau jangan-jangan kebanyakan pengarangan kita adalah pengarang yang dungu. Yang hanya mencari pembaca, dan mendapatkan kepopuleran, tanpa memikirkan efek jangka panjang dari dosis yang telah ia suntikan di dalam tulisan-tulisannya.

Mengarang berasal dari pemikiran, menggembarkan apa yang ada di dalam kepala berupa gagasan-gagasan. Bisa dalam bentuk fiksi atau pun nonfiksi.

Tetapi mengarang juga tidak hanya menggunakan kata-kata, dan sekali lagi mengarang membutuhkan pemikiran. Karena banyak kalimat yang tertulis dengan pilihan diksi indah, tetapi berisi ide pemikiran yang usang dan terus menerus diualngi.

Mari kita baca hujan sekali lagi dengan ilmu pengetahuan!

Sudah saatnya penulis kita memaknai hujan bukan sebagai duka dan lara. Dan sudah saatnya kita mencerna hujan bukan sebagai gara-gara. Karena masih banyak kita temukan di berbagai sudut bacaan, entah di kampus, di kedai kopi, di ruang diskusi ataupun di tempat lain, tulisan-tulisan tentang hujan melulu soal perasaan pribadi pengarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun