Menulis hujan bukan sekedar menulis hujan!
Menulis tidak hanya membutuhkan bakat menulis. Tetapi juga membutuhkan bakat berpikir kritis, menganalisa, dan bukan sekedar merangkai kata-kata dalam bentuk argumentasi.
Menulis memang membutuhkan kejujuran, tetapi bukan untuk menyebarkan air sendiri, seperti kebanyakan para penulis kita. Sampai kapan para penulis kita memaknai hujan sebagai duka dan lara. Dan sampai kapan kita mencerna hujan sebagai gara-gara, contohnya seperti pada kalimat "hujan itu sebuah penjaga rahasia di mana kita bisa menangis di balik hujan" atau yang lebih parah "hujan ini turun karena kepergianmu".
Kalimat-kalimat yang ditulis oleh para pengarang ini hanya sekedar memberikan hiburan dengan kata hujan, namun sifatnya menjerumuskan.
Semakin banyak penulis tentang hujan yang penuh lara dan duka, semakin banyak pembaca puisi tentang hujan, semakin tenggelam diri kita dalam makna dan simbol yang utopis itu. Semuanya adalah rangkaian kata-kata galau yang tidak bener-benar di sampaikan oleh hujan.
Penulis memang membutuhkan bakat mengarang, tetapi tidak selamanya mengarang berangkat dari hanya sekedar ide. Mengarang berangkat dari apa yang disebut dengan hasil menganalisa. Namun kebannyakan penulis saat ini, mengarang berangkat dari kebutuhan sigmentasi.Â
Atau jangan-jangan kebanyakan pengarangan kita adalah pengarang yang dungu. Yang hanya mencari pembaca, dan mendapatkan kepopuleran, tanpa memikirkan efek jangka panjang dari dosis yang telah ia suntikan di dalam tulisan-tulisannya.
Mengarang berasal dari pemikiran, menggembarkan apa yang ada di dalam kepala berupa gagasan-gagasan. Bisa dalam bentuk fiksi atau pun nonfiksi.
Tetapi mengarang juga tidak hanya menggunakan kata-kata, dan sekali lagi mengarang membutuhkan pemikiran. Karena banyak kalimat yang tertulis dengan pilihan diksi indah, tetapi berisi ide pemikiran yang usang dan terus menerus diualngi.
Mari kita baca hujan sekali lagi dengan ilmu pengetahuan!
Sudah saatnya penulis kita memaknai hujan bukan sebagai duka dan lara. Dan sudah saatnya kita mencerna hujan bukan sebagai gara-gara. Karena masih banyak kita temukan di berbagai sudut bacaan, entah di kampus, di kedai kopi, di ruang diskusi ataupun di tempat lain, tulisan-tulisan tentang hujan melulu soal perasaan pribadi pengarang.