Kesederhanaan adalah Bentuk Cinta kepada Jiwa Manusia
Langit rabu begitu cerah pagi itu. Tidak ada kekhawatiran akan sesuatu yang buruk bakalan terjadi. Semua terlihat damai dan indah. Seolah alam sedang memberikan sambutan kepada seluruh manusia. Rumput-rumput meneteskan embun, cahaya surya berkilatan menerobos awan. Sementara kambing, sapi, kerbau atau hewan ternak lainnya, nampak hanyut mengucap syukur. Begitu pula dengan Krismon, barang jajahannya diborong pembeli.Â
Padahal waktu masih menunjukan pukul enam pagi. Artinya masih banyak waktu untuk berkeliling sebelum siang menjelang sore nanti. Namun ternyata Tuhan memberikan banyak kesempatan waktu bagi pria itu. Sayur mayurnya tidak hanya laku terjual. Dan bukan sekedar uang sebagai tanda kebahagiaannya. Adalah Sulis sang pujaan hati. Ia datang memborong banyak sekali bahan-bahan masakan. Tidak hanya sekedar memborong, Sulis pun beberapa kali mengajak Krismon untuk bergurau. Kebahagiaan terlihat dalam raut wajah laki-laki matang itu.Â
Kedua pipinya berubah ungu, dan telinganya memerah. Tanda sesuatu sedang bergemuruh di dalam hatinya. Iya, itu semua perasaan antara malu dan senang yang kemudian bersatu menjadi sebuah energi maha dahsyat. Energi itulah yang membuat dada berdebar-debar seolah-olah akan meledak.Â
Nafas mulai tak beraturan. Akal pun mulai kena efeknya. Ketika Sulis hendak menyelesaikan belanjanya, sekonyong-konyongnya membalikan badan. Dan bukannya melangkah, tubuh gadis itu justru terdiam beberapa detik. Seperti ada sesuatu yang dilupakan. Tapi gadis itu lupa. Bukan hanya Sulis saja yang merasakan perasaan demikian. Awalnya Krismon ingin memanggil tubuh gadis yang tengah kebingungan itu. Tetapi ia sendiri menjadi begitu gagap.Â
Bibirnya terasa kaku sementara debar jantung semakin kuat. Semakin dipaksakan semakin kuat saja rasanya. Hingga salah seorang ibu-ibu akhirnya bersuara juga. Seolah-olah merasa kesal akan ketidak berdayaan kedua insan itu. Ibu-ibu itu kemudian menepuk bahu Sulis, "Lis, udah belum saya mau bayar ini." Sahutnya. Gadis itu pun tersadar dari lupa. Lantas ia membalikan badan lalu tersenyum lucu. Juga Krismon yang terbengong-bengong masih belum sadarkan diri.Â
Ketika Sulis mengeluarkan beberapa lembar uang dan berkata, "berapa semuanya?" Krismon tersentak bingung dan lupa, lantas mendadak ia seperti orang linglung yang tidak pernah belajar hitung-hitungan. Ia kemudian tertawa malu. Dengan cepat pula Krismon mengeluarkan belanjaan itu kembali, dan mulai menghitungnya lagi satu persatu. "Uwalah, masih mudah sudah pada pikun, cocok emang." Celetuk salah seorang ibu-ibu dalam antrian.
Sulis dan Krismon terlihat semakin dekat semenjak mereka berdua terlibat di dalam satu kegiatan. Hal ini pun membawa perhatian orang-orang banyak. Tidak hanya orang lain, bahkan oleh keluarga sendiri. Pada hari kamis yang berbahagia, Krismon hendak pergi ke musala untuk memulai kegiatan baca tulisnya dengan para orang tua buta huruf. Satrio dan Ridwan mulai memberikan komentarnya. Awalnya Satrio sedang berpura-pura melamun untuk menarik perhatian pamannya yang sedang melakukan persiapan. Saat melamun bocah ingusan itu mengeluarkan desahan kesal. "Kenapa Mas? Kesel ya gak diajak sama paman?" Sahut Ridwan.
"Jelas paman lebih memilih pergi ke sana, Soalnya anuan... " Jawab Satrio terputus. Mendengar kedua bocah itu menyebutkan namanya lantas Krismon berubah fokus.
"Anuan apa?" Tanya Krismon kepada Satrio.