"Jangan salah paham. Aku hanya mencari informasi."
"Pertanyaan tadi bukanlah pertanyaan. Tapi penyataan, Mas menyatakan kalau beliau menerima bayaran. Kenapa Mas begitu sensi dengan kata uang." Suli menampakkan kekesalan, tidak terima.
"Baiklah, bolehkah aku bertanya sekali lagi."Â
"Iya." Jawab perempuan itu kesal.
"Apa rencanamu dengan surat ini?" Tanya Krismon mencari informasi lain.
"Akan aku beritahu besok Mas, setelah surat ini dibalas." Jawab Sulis tidak enak.
"Kenapa aku harus menunggu besok." Jawab Krismon bingung menahan dengan sikap gadis itu.
"Sudah sore Mas. Aku mau mandi." Sulis nampak kesal kemudian ia masuk ke dalam rumahnya. Sementara Krismon terdiam di serambi rumah itu, tidak percaya. Ia sendiri merasa menyesal sebab kedatangannya bukanlah untuk mencari perkara. Keniatan untuk mengucapkan beberapa patah kata tentang perasaannya pun luntur seketika. Krismon menyesali perbuatannya itu. Tidak seharusnya kalimat demikian diucapkan. Pria matang itu harus menelan kegagalannya hari ini. Dan pulang bersama penyesalan diri. Semuanya harus diperbaiki, tidak boleh egois dalam berpikir. Tidak boleh sembarangan bertutur lagi. Begitulah pikirannya mengoreksi diri. Menenggelamkan kegagalan yang menemaninya berjalan kaki menuju rumah. Dia harus memulai semuanya dari awal lagi. Membangun semangat diri ditemani dinding kamar dan nyamuk. Ia harus sebisa mungkin menyederhanakan sudut pandang demi semua kelancaran.
"Di kesempatan selanjutnya aku tidak boleh gagal, dan tidak boleh salah berkata." Ucapnya kepada dinding. Padahal tujuan Krismon sangatlah sederhana. Yaitu menyatakan semua perasaannya. "Tapi kenapa cinta begitu rumit dan jauh dari kata sederhana," ucapnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H