Siapa yang tidak bahagia hidup di negeri Indonesia kecuali oleh kebijakan-kebijakan pemerintah, dan harga BBM yang semakin tahun semakin mahal. Negeri mana yang tidak mengenal Indonesia sebagai negara yang rukun oleh karena keragaman suku, bangsa, bahasa, agama, dan pemikiran kecuali oleh kita sendiri yang saat ini selalu murka, dan sensitif dengan isu-isu perpecahan.Â
Negeri mana yang tidak kagum oleh buah pemikiran bangsa kita melahirkan Pancasila? Ketuhanan, demokrasi, toleransi, humanisme dan keadilan yang tersirat dalam lima sila untuk mencirikan identitas bangsa yang berideologi kuat.Â
Namun sebenarnya begitu ringkih di dalam. Masyarakat yang mudah tersinggung, dan segala kemungkinan gesekan antar pemikiran konservatif kedaerahan dapat terjadi kapan saja, dan oleh siapa saja.
Sejarah silam tentang peperangan ideologi, yang menghasilkan perang saudara, dan pembunuhan besar-besaran kala itu melibatkan Partai Komunis, TNI, Ulama, Pemerintah Orde Baru, dan seluruh rakyat Indonesia. Entah siapa sebenarnya yang menjadi korban, dan siapa yang menjadi pelaku.Â
Dan pada masa ini, sejarah kelam itu telah menjadi sebuah luka bangsa. Luka yang berbalut kain tidak kunjung mengering, isu perpecahan untuk menggaruk-garuk luka lama masih terus ada dan datang silih berganti dari tahun ke tahun. Menandakan bahwa sebenarnya bangsa kita mudah tertiup angin, entah dihembuskan dari dalam atau dari luar. Keduanya akan memicu konflik yang sama.
1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila dengan tujuan untuk menegaskan bahwa ideologi ini adalah ideologi yang mutlak dan wajib dianut oleh seluruh rakyat Indonesia sebagai syarat terciptanya keamanan, kemakmuran, dan kebahagiaan sebagai penduduk berbangsa, dan bernegara.Â
Tetapi masalah yang kita hadapi saat ini adalah masalah emosional individu atau kelompok terhadap luka lama yang menjadikannya selalu sensitif dan potensi untuk kambuh kembali.
Baru-baru ini Jendral TNI Andika Prakasa mengumumkan kebijakannya tentang anak keturunan PKI yang dibolehkan untuk mendaftar dan bergabung dengan TNI. Kebijakan ini menuai pro dan kontra baik di kalangan yang masih menyimpan luka lama.Â
Sebuah kekhawatiran, kecemasan, dan segudang alasan menampik kebijakan yang sudah sangat melek ini terus menggelegar di media sosial, di meja-meja diskusi, bahkan sampai tempat umum.
Alasan apapun yang tidak setuju dengan kebijakan ini adalah sebuah masalah pribadi semata. Bukankah Pancasila sebagai ideologi yang kita anut ini telah secara terang menyuruh kita agar berperilaku adil dan demokrasi, mementingkan hak-hak setiap penduduk negeri, dan saling mencintai dalam kebinekaan.
Sebenarnya apa yang sedang kita khawatirkan? Dendam macam apa yang berada di atas sebuah kebaikan? Manusia macam apakah kita sebenarnya? Kenapa kita menggunakan kekuatan emosional untuk menekan mereka yang tidak tahu kesalahan, dan dosa-dosa kakek-nenek mereka.Â
Anak cucuk PKI atau bukan, mereka sama halnya seperti kita saat ini. Sama-sama warga negara yang berhak untuk diayomi, dan mendapatkan keadilan. Keadilan macam apa yang melahirkan dendam kusumat? Jika kita masih berpikir soal kejadian jahanam di masa lalu, maka lambat tahun bangsa kita akan runtuh bukan hanya oleh bangsa lain bahkan oleh diri kita sendiri.
Kekhawatirkan akan adanya ancaman balas dendam adalah seuatu ketakutan yang aneh. Kenapa kita begitu takut dengan apa yang ada di pikiran orang lain, yang padahal kita tidak pernah tahu apa isi pikiran orang lain itu.Â
Bukankah dengan kita merasa khawatir dengan isi kepala orang lain berarti kita telah pula berprilaku tidak adil dengan diri sendiri. Dengan menduga dan berprasangka buruk, bukankah berarti kita telah melakukan sesuatu yang buruk di dalam pikiran kita.
Cerita-cerita masa silam tentang hari-hari kelam, tentang PKI, tentang Ansor, Tentang TNI dan apapun itu sedikit banyaknya malah membuat luka lama seolah-olah bagaikan barang warisan. Narasi-narasi kekejaman kerap di sampaikan dari mulut ke mulut, menjadikan luka semakin lebar dan bernanah.Â
Jadilah orang yang bijak saat Anda mendengarkan kisah-kisah kekejaman itu, baik dari keluarga Anda sendiri maupun orang lain. Entah Anda anak cucu PKI atau bukan, kedamaian akan terjadi jika kedua belah pihak mengerti apa yang seharusnya menjadi tugas seorang anak, baik dalam berbangsa, bernegara, maupun agama.Â
Karena di sana tidak ada yang mengajarkan kita untuk menuntut balas dendam. Dan tidak pula kita diajarkan untuk berprasangka buruk.
PKI adalah sebuah partai dengan asas sosialisme. Ia bukan sebuah penyakit yang dapat menyebar bak virus, kecuali oleh guru-guru mereka karena genetik tidak dapat mewariskan ideologi sebab Ia datang dari sebuah kesadaran, dan kemampuan untuk bernalar. Sementara partai ini sudah tidak ada lagi, guru-guru mereka juga sudah mati.Â
Apa lagi kesadaran kita untuk mengutamakan NKRI telah lama dipupuk sejak dini, melalui kurikulum pendidikan kita yang berkonsep pada Pancasila.
Kalau pun ada sekelompok mahasiswa yang mempelajari buku-buku sejarah atau pemikiran PKI biarkan saja mereka mengetahuinya sebagai bahan studi. Karena bangsa yang tidak mengenal sejarah akan sulit untuk menentukan apa yang harus dilakukannya hari ini.Â
Seperti sulitnya menentukan mana yang seharunya mendapatkan keadilan, dan mana yang tidak. Karena kedua-duanya membutuhkan sudut pandang yang berbeda, tidak hanya dengan satu sisi. Dengan membaca buku pemikiran sosialisme bukan berarti mereka sedang meneruskan darah PKI.Â
Karena ideologi tidak diwariskan dengan buku, tapi dengan sebuah kesadaran akan kepentingan bersama. Dan kepentingan bersama itu adalah sebuah kerukunan, kekuatan bangsa yang berbhineka, dan sebuah keadilan untuk hidup berbahagia.
Baik Anda atau Saya, entah Saudara sekalian anak cucuk anggota PKI atau bukan, yang perlu kita lakukan adalah saling memaafkan, dan mengikhlaskan. Menjadikan luka di masa silam bukan untuk dilupakan atau dikenang sebagai sesuatu ide kudeta, melainkan untuk dijadikan pembelajaran.Â
Betapa kebinekaan ini adalah sesuatu amanah yang berat dari Tuhan, sedikit saja bersikap egois, dan anti toleran sekejap mata Indonesia hanya akan menjadi nama yang pernah ada di buku sejarah kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H