Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Kebhinekaan Menggunakan Kata

11 Maret 2022   23:58 Diperbarui: 17 Maret 2022   09:52 1384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain masalah penggunaan bahasa daerah yang menuai isu permusuhan, belakangan kita juga disuguhkan dengan banyaknya aksi klarifikasi. Entah kenapa masyarakat kita seolah-olah tidak paham bagaimana cara berbahasa, dan bagai mana cara memahami bahasa. 

Bahkan dengan konsep seni bercerita saja harus ketar-ketir untuk menyiapkan bahan kata-kata klarifikasi. Sudah berapa banyak teman-teman komedian kita akhirnya tak dapat demokrasi. Mereka hannyalah menggunakan bahasa untuk seni mereka.

Somasi membuat pelaku berbahasa menjadi kian buntu dalam memilih kata-kata. Menumpulkan daya kritis, dan menakut-nakuti yang baru belajar pengetahuan. 

Sehingga semua orang memilih untuk diam ketimbang berkata-kata. Somasi pula menunjukan ketersinggungan seseorang dalam menerima pendapat yang mana isinya hanyalah sebuah kata-kata. Ia tidak meledak, dan tidak pula menjerat, namun ketersinggungan membuat kebhinekaan tampak jauh di sebrang lautan.

Padahal ada banyak sekali penjajahan bahasa Asing yang terjadi di tengah-tengah kehidupan kita. Hampir di seluruh aktivitas, dan di setiap jengkal kota. 

Kedatangan mereka acap kali memotong kalimat yang memberikan simbol-simbol globalisasi. Khusunya bagi warga kota Jakarta, yang membuat sejumlah variasi baru menggunakan bahasa asing. 

Bahkan keberadaannya seolah jauh lebih punya gaya ketimbang menggunakan bahasa Slang yang dianggap lebih rendah dari bahasa Indonesia.

Sudah berapa kali kita mendengar dari lawan bicara kita yang berbahasa asing di tengah-tengah perbincangan? Sudah sesering apa kita membaca bahasa asing pada poster iklan? 

Mereka datang dengan hipnotis yang luar biasa pada ponsel kita. Dan apa yang terjadi hari ini, tidak ada satu pun warga negera yang membela. Padahal bahasa Indonesia milik seluruh suku bangsa dari ujung Papua, hingga ujung Sumatera.

Di mana sebenarnya sifat konservatif kita yang berkubu-buku itu? Apakah sebatas untuk egoisme kedaerahan sendiri? Seharusnya rasa yang sama pula muncul untuk mencegah kehancuran bahasa pemersatu kita. Ataukah mungkin makna kebhinekaan hannyalah sebatas isapan jempol saja.

Suku bangsa yang beragam di negeri ini hannyalah dapat bersatu dengan kedewasaan. Sementara kecintaan kita kepada bahasa daerah sejatinya adalah sebuah tiang penyangga untuk memperlihatkan kearifan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun