Bahwa forum resmi tersebut telah mempertemukan mereka dengan penutur bahasa daerah yang lain, sehingga seluruh anggota forum yang berinteraksi harus menggunakan bahasa Indonesia sebagai wujud Kebhinekaan mereka.
Belakangan ini bahasa daerah telah kembali melejit di kalangan penggiat, dan seniman.
Seperti film pendek berjudul "Tilik" karya sutradara Wahyu Agung Prasetyo misalnya, suguhan cerita berdialog Jawa yang keluar dari mulut ibu-ibu menjadi sesuatu yang menarik untuk menggait pasar.Â
Entah ada atau tidaknya misi melestarikan bahasa daerah, yang jelas dialog-dialog berbahasa Jawa yang diucapkan di dalam trek oleh para ibu-ibu itu amat sangat menghibur dan mengundang tawa. Tidak ada masalah bagi penonton di luar bahasa Jawa yang menikmati film ini bukan?
Film Tilik diunggah ke dalam Youtube pada tanggal 17 Agustus 2020 ini nyatanya telah mendapatkan penonton sebanyak dua puluh enam juta. Dan orang sebanyak itu kemungkinan besar bukan hanya orang berbahasa Jawa.Â
Orang sebanyak itu tidak berkomentar buruk dengan bahasa yang digunakan, sekalipun mungkin mereka tidak benar-benar mengerti apa yang para aktor katakan di dalam cerita jika tanpa melihat teks terjemahan bahasa Indonesia. Itu karena tempat untuk tersampaikannya ekspresi berbahasa itu sesuai dan tepat.Â
Lalau bagaimana jika sebuah dialog berbahasa daerah dituturkan saat sebuah acara resmi berjalan? Sementara si penutur berada di tengah-tengah sejumlah orang berbahasa daerah lain dengannya.Â
Bukankah ini menandakan tidak adanya kesopanan berbahasa, yang malah justru mencedrai nasionalisme berbahasa, dan kebhinekaan kita dalam memeluk bangsa yang beragam ini.
Sebagai pewaris suku budaya, kita memiliki bahasa ibu yang mana berasal dari daerah kita masing-masing.Â
Namun kita perlu juga mengetahui kedudukan bahasa Indonesia di tengah-tengah kita. Atau jangan-jangan bahasa Indonesia hannyalah sebuah pelengkap identitas saja, tanpa dibarengi dengan pemahaman atas fungsi, peran, dan kedudukannya.