Mohon tunggu...
Muhamad Yus Yunus
Muhamad Yus Yunus Mohon Tunggu... Seniman - Sastrawan, dan Teaterawan

Lulusan Sarjana Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Pamulang. Penulis buku, kumpulan puisi Dukri Petot: Gaya-gayaan, Novel Tidak ada Jalan Pulang Kecuali Pergi, Anak Imaji, dan Sandiwara Kita di dalam atau di Luar Panggung Sama Saja (2020) Guepedia. Pendiri Teater Lonceng, Tangsel. Sekarang menjabat sebagai Redaktur media digital adakreatif.id https://sites.google.com/view/myusyunus

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Refleksi Kisah Tuyul: Bocah Gaib yang Pandai Berbalas Budi

27 September 2021   00:52 Diperbarui: 30 Mei 2023   10:55 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kenapa Tuyul Pandai Mencuri?
Apakah Ia Anak Koruptor?

Kita semua pasti sangat familiar dengan kisah hantu bernama Tuyul. Entah jenis hantu apa dia itu. Dari segi fisik dan kelakuan, hantu ini menyerupai seorang bocah dengan kepala plontosnya.

Kisah tentang makhluk gaib yang pandai mencuri uang ini telah populer di acara televisi bahkan sampai ke layar lebar. Di mana isi cerita tentang sang pencuri profesional di jagat halus ini selalu menyuguhkan hal-hal yang mistik dan tentunya menyeramkan.

Di dalam cerita Tuyul ini sebenarnya terdapat hal yang sangat serius untuk diperdebatkan. Dengan melihat simbolik yang terdapat di dalamnya. Modus cerita ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh keterpurukkan ekonomi, kemiskinan, kesenjangan sosial, dan ketidakberdayaan manusia dalam mencukupi kebutuhan.
Jika kita lihat di awal cerita, sebelumnya telah ada sepasang manusia yang tengah mengalami kesulitan ekonomi. Mereka digambarkan sebagai tokoh yang di awal cerita telah mendapatkan diskriminasi, kemiskinan, dan kemalangan yang tidak berkesudahan.

Dalih ingin terlepas dari jeratan kemiskinan, sepasang manusia tersebut malahan datang ke seorang dukun untuk mencari pertolongan dengan cara singkat seolah-olah tidak ada cara lain untuk merubah takdirnya sendiri. Si dukun lantas memberikan sepasang suami istri itu Tuyul yang dipercaya dapat memberikannya jalan terang.

Pertanyaannya adalah kenapa kisah tidak berawal dari Apa itu Tuyul? Kenapa ia menjadi Tuyul? Dan bagaimana ia dapat mencuri uang? Siapa yang memberikan kelebihan itu? Siapa Tuyul itu sebenarnya? Dan kenapa ia menyerupai seorang bocah? Siapa ibu bapaknya yang sebenarnya? Apakah ia terlahir begitu saja?

Melalui cerita si bocah plontos dari jagat halus ini kita dapat melihat sisi yang lain dari sekedar menikmati fantasi horornya saja. Pembahasan terkait pertanyaan-pertanyaan di atas akan diuraikan dalam rangkaian paragraf berikut ini.


Refleksi Balas Budi Seorang Anak dalam Kisah Tuyul 

Orang tua sejatinya adalah seseorang yang paling mengerti tentang kehidupan anaknya. Setidaknya begitukah yang sering dikatakan oleh kebanyakan penasehat, pemuka agama, atau seorang yang bijak. Mereka memiliki posisi yang paling intim untuk menciptakan karakteristik buah hatinya di masa mendatang, sekalipun tanggung jawab tersebut telah dikerjakan oleh seorang guru. Harapan dan cita-citanya adalah sebuah ide tentang masa depan saat kedua kaki lucu mereka menginjak dewasa.

Kasih sayang, dan pemberian orang tua umumnya dikonstruksikan sebagai hal yang tidak terhitung dan wajib untuk menerima balasan dari anaknya. Siapapun itu, laki-laki atau perempuan yang telah dibesarkan oleh orang tuanya secara kontan mendapatkan tanggung jawab besar berupa balas budi atas apa yang telah diterimanya.

Hal ini cukup miris mengingat semua orang yang telahir sejak bayi memiliki hak untuk hidup, dan memilih sekalipun seorang balita belum tahu dan bisa menentukan pilihan. Namun kebanyakan orang tua memberikan harapannya sebagai sebuah tuntutan atau semacam balas budi setelah apa yang ia berikan sepanjang hayat.

Sama seperti kisah Tuyul, sang bocah pencuri profesional dari jagat halus. Sebagai anak dari kehidupan gaib, ia dirawat oleh manusia dengan catatan balas budi. Si Tuyul diwajibkan untuk mencuri uang sebanyak-banyaknya, sementara ia mendapatkan hadiah berupa air asi. Asi yang dimaksud dalam cerita tentu saja bukan asi yang sebenarnya, namun hal ini sangat mirip sekali dengan refleksi kehidupan nyata. Di mana orang tua menuntut anaknya untuk membalas budi.

Asi sendiri memiliki arti sebagai hak seorang bayi yang baru terlahir kedua. Sebuah simbol kasih sayang sekalipun diwujudkan dengan bentuk material. Karena asi telah menjadi hak bagi seorang bayi, maka kurang tepat adanya jika benda cair itu digunakan sebagai alasan balas budi.

Sejauh ini hubungan Tuyul dengan majikan yang mengasuhnya hanyalah sebatas fisik belaka. Meskipun kenyataannya secara fisik Tuyul bukanlah anak asli mereka. Sama seperti alasan seorang anak mencari harapan yang didasari oleh balas budi, yang bersifat materialistik kepada orang tuanya. Begitu pula dengan konsep balas budi yang terdapat dalam cerita ini, di mana  majikan memberikannya asi dan si Tuyuk membalasnya dengan menjadi pencuri untuk mendapatkan banyak uang. 

Sering terjadi dalam lingkungan hidup manusia pada abad yang teramat sulit untuk bertahan ini. Orang-orang tua kerap memberikan doktrin bagi anak-anak mereka untuk mencapai sesuatu yang tidak sesuai kebebasan sang anak. Dalih ingin memberikan pesan dan amanat, tidak sedikit orang tua yang mencoba menggunakan narasi balas budi agar anak-anaknya menurut.

Alasan-alasan balas budi anak kepada orang tua melulu soal material fisik, adanya muncul dialog-dialog pertanyaan seperti: siapa yang membesarkan dan memberikanmu makan sejak kecil? Siapa yang menyekolahkanmu? Dengan uang siapa kamu mendapatkan gelar? Dan sederet pertanyaan menyudutkan balas budi yang lainnya.

Seorang anakpun tidak dapat mengelakkan pertanyaan yang dilemparkan orang tua kepadanya. Ia kemudian membalas budi atas dasar pemberian material fisik dengan jawaban: karena orang tua yang melahirkan aku, karena mereka membesarkanku dan memberiku makan sejak kecil, karena mereka menyekolahkanku hingga tamat sarjana, dan semua alasan balas budi yang kadung menjadi dasar cita-cita.

Tanpa disadari, seorang anak dalam posisi ini telah kehilangan kebebasannya untuk mencari jati diri. Memang harapan balas budi orang tua tidak sedikit yang membatu anak dalam mencari penghidupan. Tetapi bagaimana dengan kejujuran hati mereka? Tidak sedikit pula seorang anak yang melakukan penyimpangan akibat paksaan halus orang tua.

Seperti itulah refleksi kisah hantu Tuyul yang memiliki relevansi terhadap keadaan nyata. Dalam cerita sendiri Si Tuyul dibuat seolah-olah sebagai makhluk yang sangat licik dan juga biadab. Ia selalu meminta tumbal dan cemburu mana kala sang majikan memiliki momongan. Sebenarnya ini akibat perbuatan majikannya sendiri. Si pencuri dari negeri gaib itu tidak lantas menjadi anak kesayangan hanya karena pandai mencari uang. Ya tentu saja karena sang majikan hanya menginginkan uang darinya bukan keberadaan bocah gaib berkepala plontos itu.

Paragraf di atas dapat kita artikan dalam kasus anak-anak yang merasa tidak bahagia setelah mewujudkan harapan orang tuanya. Mereka merasa hidupnya begitu hampa di bawah cengkraman yang katanya cita-cita keluarga. Biasanya seseorang anak yang terpaksa menjadi sesuatu atas dasar tuntutan orang tua, ia akan mengalami gangguan psikis sperti, stres, dan gangguan psikis yang cendrung menyalahkan dirinya sendiri atas ketidak berdayaannya dalam mencapai cita. Tidak jarang kasus semacam ini akhirnya malahan menyulitkan orang tua itu sendiri dan anaknya yang berimbas pada hubungan emosional mereka.

Tokoh hantu pesugihan bernama Tuyul dalam pemabahasan di atas dapat dijadikan sebuah simbol impian seorang ibu dan bapak dalam meletakan beban harapan kepada anak-anaknya yang tidak jarang harapan itu tandas akibat egoisme mereka sendiri. 

Kisah hantu ini menyelipkan sebuah refleksi atas ketidak sempurnaan orang tua dan anak dalam menuntut pencapaian kesuksesan berupa materi. Karena seharusnya alasan balas budi seorang anak kepada orang tuanya bukan sekedar pencapaian materi, melainkan tindakan moral yang berisi kasih sayang. Begitu pula sebaliknya, seharusnya alasan seorang anak berbalas budi kepada orang tuanya berupa kasih sayang yang sama.

Setidaknya ada banyak pesan yang dapat diambil dari kisah Tuyul si pencuri profesional dari negeri gaib itu. Ia tidak butuh uang sekalipun ia pandai mencurinya dari balik pintu, sebab uang adalah impian kebahagiaan kosong manusia. Sementara sang Tuyul hanya meminta diberikan sesaji berupa asi. Yang mana "Asi" sendiri merupakan simbol kasih sayang ibu kepada anaknya yang masih bayi atau balita. "Asi" sebagai cara meneruskan hidup, menjadikannya pribadi yang dekat dengan orang tua, dan dari olehnya seorang anak memiliki karakteristiknya sendiri yang penuh cinta, cita dan mimpi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun