Ketika berbicara tentang gerakan sosial, filosofis, atau bahkan spiritual, ada satu hal yang sering terabaikan: keberlangsungan hidup sebagai proses yang dinamis. Gerakan yang bertujuan mengubah realitas, pada dasarnya harus selalu bergerak, menyesuaikan diri, dan berkembang. Gerakan yang hidup adalah yang tidak pernah merasa "selesai" dengan dirinya sendiri. Begitu ia merasa cukup atau puas, ia berhenti berkembang dan berisiko menjadi dogma, dengan kata lain, mati. Artikel ini mengajak untuk merenungkan konsep gerakan yang hidup, dan bagaimana fenomenologi serta pemikiran eksistensial dapat menjadi alat bantu untuk menjaga gerakan tetap bernyawa.
1. Gerakan sebagai Proses yang Hidup
Dalam pandangan gerakan hidup, perubahan adalah napas yang membuatnya terus bertahan. Seperti halnya organisme yang tumbuh, gerakan sejati adalah yang terus memperbaharui tujuan dan caranya, menyesuaikan diri dengan realitas yang ada. Gerakan yang merasa selesai pada akhirnya kehilangan daya hidupnya, dan mulai beralih menjadi sesuatu yang kaku, kehilangan daya kritisnya, dan bahkan berpotensi berubah menjadi hal yang semula ingin dilawannya. Di sinilah pentingnya refleksi dan evaluasi berkelanjutan.
Filosof Heraclitus pernah berkata, "Kita tidak pernah bisa melangkah di sungai yang sama dua kali." Prinsip ini menggambarkan bagaimana perubahan adalah inti dari eksistensi. Gerakan yang hidup harus merangkul perubahan ini, bukan menganggap dirinya sebagai "ide final." Sebab begitu ia menjadi final, ia berhenti menjadi hidup.
2. Penolakan terhadap Sakralisasi Profan
Dalam setiap gerakan, ada kecenderungan untuk mengultuskan hal-hal profan atau duniawi. Banyak gagasan atau ide yang pada awalnya hadir sebagai alat bantu gerakan malah berpotensi disakralkan, dianggap mutlak, dan tak lagi dipertanyakan. Akibatnya, kita justru menciptakan dogma baru yang mengekang dan menghambat kebebasan berpikir. Materi, pemikiran, atau ide tertentu dapat berubah menjadi "kitab suci" baru, yang dipegang erat tanpa pemahaman lebih lanjut, seolah-olah kehadirannya saja sudah cukup untuk memberi makna.
Sakralisasi ini berbahaya karena menutup ruang untuk eksplorasi dan inovasi. Padahal, dalam realitas yang terus berubah, dogmatisasi atas hal-hal duniawi hanya akan mempersempit ruang gerak. Untuk itu, gerakan hidup menuntut kita agar selalu kembali mempertanyakan makna sebenarnya dari tujuan-tujuan kita, tanpa terperangkap pada hal-hal yang sifatnya sementara.
3. Fenomenologi sebagai Alat Bantu Gerakan
Fenomenologi, yang dikembangkan oleh Edmund Husserl, adalah metode untuk memahami realitas secara langsung, tanpa asumsi atau pra-anggapan. Fenomenologi mengundang kita untuk mengalami dunia sebagaimana adanya, bukan berdasarkan interpretasi yang dipaksakan dari luar. Melalui fenomenologi, kita mendekati pengalaman hidup dengan keterbukaan penuh, mengundang rasa ingin tahu yang otentik terhadap apa yang terjadi di hadapan kita.
Dalam konteks gerakan, fenomenologi membantu kita melihat dan memahami situasi dengan lebih murni. Sebuah gerakan yang digerakkan oleh fenomenologi bukan sekadar alat atau instrumen untuk mencapai sesuatu, melainkan pengalaman eksistensial yang hidup dan penuh kesadaran. Fenomenologi mencegah gerakan dari penafsiran yang terbatas dan dogmatis, sehingga ia selalu terbuka pada makna-makna baru yang muncul dari pengalaman konkret.
4. Eksistensi yang Sadar sebagai Landasan
Eksistensi yang sadar merupakan inti dari keberadaan manusia. Mengutip kalimat terkenal dari Rene Descartes, "Aku berpikir, maka aku ada," kesadaran diri adalah dasar dari setiap tindakan manusia. Dalam gerakan hidup, kesadaran eksistensial menjadi landasan dari setiap langkah, karena setiap tindakan adalah cerminan dari keberadaan yang berpikir dan mempertimbangkan.
Kesadaran ini menuntut setiap individu dalam gerakan untuk memahami keberadaannya dan menegaskan arah perjuangannya. Gerakan tidak seharusnya hanya dimaknai sebagai upaya kolektif tanpa kesadaran diri, tetapi harus menjadi ekspresi dari individu-individu yang sadar akan makna keberadaannya. Eksistensi yang sadar ini membuat setiap tindakan dalam gerakan memiliki arah dan tujuan yang lebih mendalam, bukan sekadar mengikuti arus tanpa pertimbangan.
5. Suasana Perjuangan yang Terbuka
Perjuangan bukanlah tujuan akhir, melainkan ruang untuk menghidupkan dialog dan berbagi pengalaman. Sebuah gerakan yang hidup selalu terbuka pada suara-suara baru dan beragam. Di sinilah pentingnya menciptakan ruang yang inklusif, di mana semua perspektif dapat berbicara dan saling memberi makna. Keterbukaan ini bukan hanya memperkaya pandangan gerakan, tetapi juga menjadikannya lebih responsif terhadap perubahan dan tantangan baru.
Dalam suasana yang terbuka, dialog adalah cara untuk terus memperbaharui makna gerakan. Dialog membuka kesempatan untuk refleksi dan koreksi diri, sehingga gerakan tidak stagnan atau terjebak dalam pola pikir yang sempit. Hanya dengan keterbukaan, gerakan dapat tetap hidup dan relevan bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Gerakan yang hidup adalah gerakan yang terus mengeksplorasi, mempertanyakan, dan merangkul perubahan. Dengan menjadikan fenomenologi sebagai alat bantu, gerakan dapat mendekati pengalaman dengan keterbukaan dan kepekaan yang mendalam. Melalui kesadaran akan eksistensi, kita dapat memberi makna pada perjuangan dan menolak kekakuan dogma yang membatasi ruang gerak kita. Pada akhirnya, perjuangan bukanlah tentang mencapai satu tujuan, tetapi tentang membangun suasana di mana makna selalu bisa diperbarui dan disegarkan.
Oleh; Muhamad Tonis Dzikrullah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H