Walaupun kerusuhan ini bukanlah konflik antara etnik maupun agama secara langsung tetapi konflik ini berdampak terhadap etnik dan agama. Dalam kronologis Kerusuhan Tasikmalaya yang sudah dituturkan sebelumnya, Etnis Tionghoa tidak memiliki sangkut paut sama sekali terhadap kerusuhan. Dalam kerusuhan ini,, etnis Tionghoa hanya dipakai sebagai kambing hitam alami (natural scapegoat) pada masa-masa tegang saat kerusahan. Kerusuhan juga terjadi akibat adanya jurang pemisah antara masyarakat yang memiliki kekuasaan ekonomi dengan masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan ekonomi. Dalam kasus ini masyarakat yang memiliki kekuasaan ekonomi yaitu etnis Tionghoa dan yang tidak memiliki kekuasaan ekonomi yaitu non-Tionghoa alias pribumi. Etnis Tionghoa menanggung dampak kerugian paling parah pada saat kerusuhan 26 Desember 1996 baik dari segi ekonomi maupun sosial.
    Peristiwa kerusuhan Tasikmalaya 1996 menjadi pelajaran berharga untuk membangun solidaritas antara Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan. Peristiwa kerusuhan Tasikmalaya merupakan masalah antara suku yaitu suku Non-Tionghoa dan Tionghoa. Wujud rekonsiliasi dari kerusuhan Tasikmalaya 1996 pada masa kini yaitu terbentuknya FBTI (Forum Bhinneka Tunggal Ika) pada tahun 2016. Tujuan dari terbentuknya FBTI untuk mempererat solidaritas dan mengukuhkan keberagaman. Saat ini setelah 25 tahun kerusuhan tersebut berlalu, keharmonisan antara pribumi dan etnnis Tionghoa di Kota Tasikmalaya telah terjalin kembali dengan baik.
Sumber:
Ali Nuryasin, Edi Budiyarso, Et al., 1997, Amarah Tasikmalaya: Konflik di basis Islam, Tasikmalaya: Institusi Studi arus informasi.
Tantoh, V. (2020). Kerusuhan Tasikmalaya 1996; Studi Kasus Komunitas Tionghoa. 20--91.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H