Kota Tasikmalaya atau yang kerap oleh orang -- orang disingkat "Tasik" adalah sebuah kota kecil yang berjarak 120 kilometer ke arah tenggara dari ibukota Provinsi Jawa Barat. Di balik kegemilangannya, siapa sangka Kota Tasikmalaya ternyata menyimpan sebuah sejarah kelam pada masa orde baru. Kala itu tahun 1996 ketika Kota Tasikmalaya masih menjadi satu dengan Kabupaten Tasikmalaya terjadi sebuah kerusuhan yang merupakan buntut dari kesalahpahaman dan masalah pribadi. Tak hanya itu, efek dari kerusuhan tersebut berujung diskriminasi brutal terhadap etnis Tionghoa di Tasikmalaya.
      Kerusuhan tersebut berawal dari permasalahan personal di lingkungan Pondok Pesantren Condong. Pesantren Condong yang terkenal sebagai pesantren lama di Tasikmalaya dan telah berdiri sejak tahun 1864, pada kala itu tengah mengalami banyak kehilangan uang dikalangan para santri. Setelah ditelusuri, ternyata pelakunya adalah seorang anak bernama Mohammad Rizal yang merupakan anak seorang polisi berpangkat kopral dua (Ali Nuryasin, Edi Budiyarso dkk. 1997 dalam "Amarah Tasikmalaya: Konflik di basis Islam, Tasikmalaya: Institusi Studi Arus Informasi").Â
      Pada hari Jum'at, 20 Desember 1996, ada panggilan dari Polsek untuk dua orang pihak OPSC yang telah melakukan tindak kekerasan pada Mohamad Rizal. Tetapi mereka sedang pulang ke rumahnya. Panggilan dari polsek ini tidak bisa dibatalkan sehingga pihak Pesantren menuruti panggilan tersebut dan datang ke Polsek. Pihak Pesantren yang datang yaitu; Ustadz Makmun, Adik Ustadz Mahmud dan Ustadz Mahmud. Ketika datang ke Polsek, pihak pesantren tersebut berbicara kepada ayah Rizal yaitu Pak Nursamsi dan polisi disana.
    Penjelasan mereka dinyatakan cukup. Tetapi pihak polisi tersebut ingin dua orang pihak OPSC yang melakukan tindak kekerasan kepada Mohammad Rizal datang ke Polsek. Jika tidak, Pak Nursamsi mengancam pihak pesantren akan mengangkat kasus ini ke media massa.
     Pada hari Senin 23 Desember 1996, Ustadz Mahmud, dua orang anggota OPSC yang melakukan tindak kekerasan pada Mohammad Rizal dan Ate Musodik seorang ketua Majelis Ulama dan Majelis Ulama Indonesia kembali menuju Polsek untuk melakukan mediasi dengan orang tua Mohammad Rizal.
     Ketika rombongan dari Pesantren Condong tersebut sampai di Polsek, mereka disambut dan diperiksa. Beberapa saat kemudian, ketika Pak Ate yang menjadi juru bicara Pesantren Condong sedang mengutarakan beberapa hal terkait peraturan pesantren terhadap santri yang melanggar, terjadilah pemukulan secara tiba-tiba oleh Pak Nursamsi dan sasarannya adalah dua orang anggota OPSC yang melakukan tindak kekerasan. Ustadz Mahmud yang ingin menghentikan pemukulan malah menjadi ikut menjadi sasaran pemukulan tersebut. Ustadz Mahmud dan dua orang anggota OPSC yang ikut ke Polsek setelah dipukuli dimasukan ke sel dan saat di sel seluruh pakaian mereka dibuka serta dianiaya oleh empat oknum anggota Polsek. Kejadian tersebut menyebabkan Ustadz Mahmud dan dua orang anggota OPSC dirawat di rumah sakit. Kemudian pada hari Rabu 23 Desember, Kapolda Jawa Barat kala itu Mayjen (Pol) Nana Permana menyatakan bahwa keempat oknum polisi yang menganiaya tiga warga pesantren sudah diserahkan kepada POM ABRI di Garut untuk ditindak lebih lanjut.
     Selanjutnya, pada Hari Rabu 25 Desember 1996, ada isu-isu yang beredar bahwa Ustadz Mahmud meninggal dunia. Akibat kabar burung ini, diadakan perkumpulan antara para Santri dengan anak-anak Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) untuk mengadakan do'a bersama untuk dengan tujuan untuk aparat yang berkait agar dapat menindak secara langsung dari kejadian antara polisi dengan para santri tersebut yang akan dilaksanakan keesokan harinya di Masjid Agung Tasikmlaya.
    Keesokan harinya pada tanggal 26 Desember 1996 dilaksanakanlah aksi do'a bersama di Masjid Agung Tasikmalaya. Memasuki pukul 13.00, massa semakin membludak dan tidak hanya berasal dari kalangan santri. Tetapi juga berasal dari orang -- orang yang tidak berkepentingan. Ketika massa sudah sangat tidak terkendali, dimulailah kerusuhan yang akan menjadi catatan sejarah kelam tersebut. Awalnya massa menyerang Polres Tasikmalaya yang letaknya dekat dengan Masjid Agung. Setelah itu, massa mulai menyebar ke kawasan Jalan HZ Mustafa yang merupakan kawasan perniagaan ramai kota Tasikmalaya dan mulai melakukan pembakaran pada toko-toko dan rumah milik Tionghoa, tempat ibadah dan beberapa sekolah. Sebagian Massa juga membawa bom-bom molotov dan melemparkan ke toko-toko dan rumah-rumah Tionghoa (Ali Nuryasin, Edi Budiyarso dkk. 1997 dalam "Amarah Tasikmalaya: Konflik di basis Islam, Tasikmalaya: Institusi Studi Arus Informasi").
     Massa yang berjalan di jalan HZ. Mustofa rata-rata menyuarakan "lempar Cina....lempar Cina" sebelum melakukan pembakaran toko maupun gereja selain itu juga berteriak dengan suara lantang Kami Pribumi Selain di jalan HZ. Mustofa, massa juga bergerak ke jalan Selakaso. Massa berteriak-teriak di jalan Selakaso dan melemparkan batu di ruko-ruko yang rata-rata milik Tionghoa. Massa juga berkeliaran ke jalan Cieunteung dan mendatangi ruko-ruko maupun rumah-rumah Tionghoa di jalan Cieunteung. Massa yang telah berpencar-pencar secara kelompok tersebut bukan hanya mengincar toko maupun pabrik milik Tionghoa tetapi juga mengincar mobil-mobil milik etnis Tionghoa yang sedang berkendara di Kota Tasikmalaya (Veren Tantoh, 2020 dalam "KERUSUHAN TASIKMALAYA 1996; Studi Kasus Komunitas Tionghoa").
      Walaupun kerusuhan ini bukanlah konflik antara etnik maupun agama secara langsung tetapi konflik ini berdampak terhadap etnik dan agama. Dalam kronologis Kerusuhan Tasikmalaya yang sudah dituturkan sebelumnya, Etnis Tionghoa tidak memiliki sangkut paut sama sekali terhadap kerusuhan. Dalam kerusuhan ini,, etnis Tionghoa hanya dipakai sebagai kambing hitam alami (natural scapegoat) pada masa-masa tegang saat kerusahan. Kerusuhan juga terjadi akibat adanya jurang pemisah antara masyarakat yang memiliki kekuasaan ekonomi dengan masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan ekonomi. Dalam kasus ini masyarakat yang memiliki kekuasaan ekonomi yaitu etnis Tionghoa dan yang tidak memiliki kekuasaan ekonomi yaitu non-Tionghoa alias pribumi. Etnis Tionghoa menanggung dampak kerugian paling parah pada saat kerusuhan 26 Desember 1996 baik dari segi ekonomi maupun sosial.
    Peristiwa kerusuhan Tasikmalaya 1996 menjadi pelajaran berharga untuk membangun solidaritas antara Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan. Peristiwa kerusuhan Tasikmalaya merupakan masalah antara suku yaitu suku Non-Tionghoa dan Tionghoa. Wujud rekonsiliasi dari kerusuhan Tasikmalaya 1996 pada masa kini yaitu terbentuknya FBTI (Forum Bhinneka Tunggal Ika) pada tahun 2016. Tujuan dari terbentuknya FBTI untuk mempererat solidaritas dan mengukuhkan keberagaman. Saat ini setelah 25 tahun kerusuhan tersebut berlalu, keharmonisan antara pribumi dan etnnis Tionghoa di Kota Tasikmalaya telah terjalin kembali dengan baik.
Sumber:
Ali Nuryasin, Edi Budiyarso, Et al., 1997, Amarah Tasikmalaya: Konflik di basis Islam, Tasikmalaya: Institusi Studi arus informasi.
Tantoh, V. (2020). Kerusuhan Tasikmalaya 1996; Studi Kasus Komunitas Tionghoa. 20--91.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H