Olimpiade menjadi ajang yang prestisius karena hanya berlangsung 4 tahun sekali. Piala Dunia merupakan suatu perhelatan yang megah karena tidak setiap tahun diadakan. Setiap atlet berlatih mati-matian untuk bisa mewakili negaranya di Olimpiade. Fans rela bepergian melintasi benua hanya untuk menonton pertandingan Piala Dunia.
Manchester United vs Barcelona menjadi spesial bukan hanya karena mereka adalah dua klub besar di masing-masing negaranya, tapi juga karena mereka jarang bertemu satu sama lain; dan sekalinya mereka bertemu, pastilah di panggung yang besar dan megah: final Liga Champions tahun 2009 lalu misalnya.
Kejarangan itu yang membuat kita selalu menerka-nerka, kalau mereka bertemu sekarang, kira-kira siapa yang bakal unggul. Dan ketika pertemuan itu benar terjadi, kita menjadi sangat excited.
Di musim pertama ESL, mungkin kita masih semangat dengan Big Match setiap minggunya. Tapi seiring waktu, pertandingan-pertandingan itu menjadi sesuatu yang biasa, bagian dari rutinitas. Big Match yang berlangsung setiap minggu bukanlah Big Match, tapi Usual Match. Pertandingan-pertandingan itu akan kehilangan sesuatu yang membuatnya spesial. Kita tidak menunggu-nunggu lagi pertemuan dua klub jagoan masing-masing negara karena sudah sering terjadi.
Kita tidak akan memaksakan diri untuk begadang menonton City vs AC Milan, karena beberapa minggu ke depan akan ada lagi. Kita gak akan terlalu kecewa ketika ketiduran menonton Atletico vs Arsenal karena baru menonton beberapa minggu lalu.
Masalahnya, ketika kita sebagai fans sepakbola sudah tidak lagi excited dengan pertandingan sekelas Liverpool vs Barcelona atau Juventus vs Real Madrid, lalu apa?
Mengutip Syndrome di The Incredibles, "When everyone's super, no one will be".
Membunuh Ruh Kompetisi
Di ESL, 15 tim founder sudah pasti akan berpartisipasi. Tidak ada sistem kualifikasi untuk mereka. Andai kata mereka terdegradasi di liga domestik pun, mereka masih bisa bermain di ESL. Hanya 5 tempat yang terbuka untuk klub lain dan mekanisme kualifikasinya pun belum jelas seperti apa.
Sistem ini mencederai ruh olahraga itu sendiri, yaitu kompetisi. Hal yang indah dari olahraga adalah pada akhirnya, semua ditentukan oleh hasil di atas lapangan. Status di luar lapangan---klub besar atau klub kecil, pemain bintang atau pemain amatir, kelas ningrat atau kelas pekerja---tidak memiliki arti apa-apa ketika pluit pertandingan dibunyikan. Hasil pertandingan hanyalah berdasarkan apa yang terjadi di lapangan.
Selama lebih dari 100 tahun, liga-liga sepakbola di Eropa bekerja berdasarkan prinsip itu. Hasil pertandingan menentukan posisi klasemen; posisi klasemen menentukan nasib sebuah klub: juara, degradasi, atau lolos ke kompetisi antar-klub.
Apa yang memberikan klub-klub founder ESL itu hak untuk mendapatkan jatah tetap di kompetisi? Karena mereka menasbihkan diri sendiri sebagai 'klub elit Eropa'? Bukankah yang dapat menentukan itu adalah dan hanyalah hasil pertandingan?