Mohon tunggu...
Muhamad Ridwan Herdika
Muhamad Ridwan Herdika Mohon Tunggu... Ilmuwan - Analis Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Komnas HAM RI Perwakilan Papua

Seorang Sarjana Hukum, Pembela Hak Asasi Manusia, Pengamat Politik, dan Aktivis Demokrasi. Pernah menjadi Asisten Pengacara Publik di LBH Jakarta. Saat ini bekerja sebagai Analis Pelanggaran HAM di Komnas HAM RI Perwakilan Papua. Instagram : @ridwanherdika

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Merefleksikan Konflik Palestina dengan Masalah Papua di Indonesia

23 Januari 2024   10:12 Diperbarui: 23 Januari 2024   10:17 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: westpapuanews.org

Publik internasional lagi-lagi terhenyak melihat jatuhnya ribuan korban jiwa dalam perang israel melawan palestina (fraksi Hamas) di jalur Gaza.  Konflik ini telah berulang kali terjadi, namun lagi-lagi komunitas internasional, yang salah satunya telah terlembaga melalui badan PBB tidak dapat berbuat banyak, selain hanya bisa sebatas mengecam,  mengutuk, dan mendesak tanpa disertai  tindakan-tindakan yang efektif untuk menghentikan kekerasan yang terus bergejolak. Pada waktu bersamaan, terdapat juga pembantaian yang diduga dilakukan oleh Kelompok Sipil Bersenjata TPNPB - OPM Pimpinan Egianus Kogoya di Kabupaten Yahukimo pada 16 Oktober 2023, yang menyebabkan sekurang-kurangnya 13 masyarakat sipil  meninggal dunia.

Terkait konflik kekerasan di wilayah papua yang ada di Indonesia,  data dari Gugus Tugas 2 Papua Universitas Gadjah Mada menyatakan bahwa sepanjang Januari 2020 - Maret 2022  terdapat 2118 korban jiwa di seluruh wilayah Papua akibat konflik kekerasan yang terus berulang. Sepanjang Januari - Oktober 2023, Komnas HAM RI Perwakilan Papua juga telah menerima 62 aduan yang mana 12 diantaranya merupakan isu konflik bersenjata.

Karena itu, menarik untuk menjabarkan sekaligus merefleksikan bersama terhadap kesamaan pola-pola konflik yang ada di Palestina dengan yang ada di wilayah Papua. Hal tersebut penting sebagai salah satu bahan komparasi untuk pemangku kewajiban guna merumusan kebijakan - kebijakan yang akan diterapkan.

Adanya Produk Sejarah yang Dipermasalahkan

Dalam konflik Papua, pihak yang menuntut diadakannya referendum selalu salah satu argumentasi yang dibangun yaitu cacat formilnya penyatuan wilayah Papua  terhadap NKRI, sebagaimana yang tertera dalam New York Agreement 1962 dan diimplementasikan melalui Papera 1969. Bagi kelompok pro kemerdekaan, baik dari segi yuridis formil maupun substantif, adanya norma tersebut seharusnya dinyatakan cacat demi hukum akibat ketidaksesuaian dengan norma internasional yang seharusnya menerapkan one man one vote (bukan perwakilan), di tambah dalam pelaksanaan pengambilan pendapat terdapat dugaan intimidasi-intimidasi oleh pihak-pihak yang pro integrasi agar memilih bergabung dengan NKRI.

Dalam konflik Palestina, akar dari eksisnya negara Yahudi adalah adanya Deklarasi Balfour yang dikeluarkan oleh Inggris selaku pemenang Perang Dunia 1, yang mana salah satunya memberikan dukungan terhadap gerakan Zionis untuk mendirikan negara Yahudi di wilayah Palestina. Penduduk Arab Palestina menyatakan bahwa kebijakan tersebut sesuatu yang jahat karena menyebabkan kelak jutaan warga arab palestina  terusir keluar wilayah tanah kelahirannya akibatnya adanya imigran besar-besaran orang Yahudi dan menuai konflik sosial bernuansa kekerasan yang tidak kunjung berhenti hingga saat ini.

New York Agreement 1962 dinilai oleh sebagian pihak tidak melibatkan aspirasi masyarakat Papua secara bermakna, pun Deklarasi Balfour dinilai oleh masyarakat arab Palestina tidak melibatkan serta menjamin hak-hak masyarakat arab yang telah lebih dahulu bermukim di wilayah tersebut.

Terdapat Penilaian Adanya Pembersihan Etnis di Wilayah Konflik

Bagi sebagian orang, khususnya kelompok yang menuntut kemerdekaan di Papua, mendukung argumentasi yang menyatakan bahwa telah terjadi upaya genosida secara halus (slow motion genocide) yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat asli papua di tanah kelahirannya, karena pasca bersatunya dengan NKRI mulai banyak nya pendatang non-Papua yang memenuhi kantung-kantung penduduk di wilayah Papua. Misal data dari BPS pada 2010 menunjukan bahwa di Kota Jayapura, Kab. Merauke, Kab.Mimika, dan Kab, Keerom mayoritas merupakan pendatang alias bukan orang asli papua.  Salah satunya berdasarkan data tersebut, kelompok pro kemerdekaan menilai bahwa hingga saat ini terus berlangsung upaya minoritasiasi OAP di wilayah Papua.

Pun dalam konflik palestina, meskipun saat ini etnis arab di wilayah yang dikuasai negara israel minoritas tertinggi nomor 2, namun masyarakat arab palestina memandang bahwa berdirinya negara israel menyebabkan tersingkirnya hak-hak masyarakat arab di tanah kelahirannya yang saat ini dikuasai secara de facto oleh pemerintah Israel. Sebagai komparasi, sebelum Perang Dunia 1 di wilayah yang dikuasai Israel dihuni oleh mayoritas etnis arab, namun saat ini mayoritas merupakan penduduk yang beretnis Yahudi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun