Mohon tunggu...
Muhamad Ridwan
Muhamad Ridwan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 teknik sipil di Universitas Muhammadiyah Mataram semester 7

Saya memiliki Hobi menikmati gunung dan tidak suka keramaian. Saya benci keributan

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kota Panggung Dramatis: Ketidakadilan Tersembunyi di Balik Gemerlap Kemajuan

5 Februari 2024   23:55 Diperbarui: 6 Februari 2024   00:01 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi By 123RF via Pinterest 

Kota Panggung Dramatis: Ketidakadilan Tersembunyi di Balik Gemerlap Kemajuan

Oleh : Ridwan

Di ufuk timur mentari bersinar,

Kaum miskin merantau, kota megah jadi arena.

Kezaliman penguasa, sirkus politik tak henti,

Raja pemerintah, hibur dengan kebijakan sarkastiknya.

Kota disebut "magnet kemajuan" dengan bangga,

Namun di balik lampu gemerlap, kezaliman tersembunyi raganya.

Pejabat bersorak gembira, proyek selesai riuh tawa,

Kaum miskin puas dengan sisa-sisa kebijakan menyengsarakan.

Pemerintah lupa, negara bukan sirkus hiburan,

Keadilan sosial terlupakan, panggung untuk kelas atas berlarian.

Kaum miskin jadi pemeran tambahan, politik tak berakhir,

Kota impian? "Hanya untuk sebagian orang," teriak spanduk besar.

Infrastruktur modern diperlihatkan bangga,

Tapi di baliknya cerita keprihatinan membentang luas.

Dalam kezaliman penguasa, tanah untuk rakyat dihancurkan,

Tingginya gedung pencakar langit, nilai estetika bukan kesejahteraan.

Jalanan mirip panggung teater politik,

Kaum miskin figuran, ketidakadilan menuai kritik.

Pendidikan dan kesehatan jadi lupakan,

Sekolah dan rumah sakit membusuk, harapan terpendam.

Pemerintah pandang rendah, kaum miskin tanpa hak,

Klub elit rapat, proyek ambisius jadi obat.

Kata manis inklusivitas dan keberlanjutan,

Hanya sandiwara politik, komedi hitam pemerintah jadi tontonan.

Revitalisasi kota, bangga penguasa,

Namun kaum miskin tak melihat manfaat sejati.

Gedung mewah membatasi ruang hidup,

Ketidaksetaraan pekerjaan semakin menyulitkan hidup.

Akses perumahan layak jauh di mimpi,

Anggaran habis untuk mempercantik kota rupawan.

"Kota cerdas" disuarakan tanpa otak,

Gedung pintar tak memberi solusi pada kebingungan hidup kaum miskin.

Senja tiba, kota panggung dramatis,

Pemerintah meninggalkan jejak kekecewaan di hati.

Kritik bukan ketidaksetiaan, seruan keadilan terdengar,

Topeng penuh janji palsu, kaum miskin berharap terlepas.

Kota simbol kemegahan, bukan hanya fisik,

Tempat semua warga hidup layak, bukan panggung dramatis.

Kaum miskin merantau, menanti hari,

Pemerintah hentikan pertunjukan politik, fokus pada kesejahteraan seluruh rakyat, bukan sekadar berpura-pura.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun