Dulu sekitar akhir tahun 80-an di kampung kami mendadak ramai didatangi orang-orang dari berbagai daerah, terutama Kalteng dan Kalsel. Apakah gerangan yang orang-orang kerjakan? Apakah yang mengundang mereka datang berduyun-duyun? Laki-laki, perempuan, orang dewasa dan bahkan anak-anak berjibaku, mengeruk lumpur untuk menemukan emas.
Rupanya pancaran logam mulia inilah yang menarik mereka berdatangan tanpa diundang ke kampung kami. Bayangkan saja, di sepanjang kampung, sampai ke pojok-pojok, berederet-deret tenda dari terpal di bangun. Makin hari, semakin banyak orang-orang berdatangan entah dari pelosok mana datangnya.
Sebagaimana kata pepatah, di mana ada gula di situ ada semut, begitulah di kampung kami. Orang-orang berdatangan bukan hanya untuk mendulang emas, tetapi datang juga pedagang-pedagang musiman. Kampung yang asalnya sunyi sepi dengan rutinitas penduduknya sebagai petani, mendadak menjadi hiruk pikuk penuh dengan berbagai kegiatan bahkan sampai ke malam hari. Kampung ini seolah terbangun dari tidur panjangnya.
Warga penduduk asli kampung bahkan sudah lupa bahwa  bahwa pekerjaan mereka adalah bertani. Sawah-sawah dan kebun-kebun sudah ditinggalkan, mereka ikut hanyut dengan aktivitas baru, sebagai pendulang emas. Memang, dibanding bertani atau berkebun warga bisa setiap hari mendapatkan uang dengan menjual emas kepada penadah yang tersebar di kampung, berdamaan dengan berdatangannya pendulang emas.
Konon emas yang didulang disini bukanlah emas alam. Orang-orang mendapat emas sebagian dalam bentuk yang sudah jadi, seperti cincin, kalung, leontin, gelang dan sebagian besar dalam bentuk leburan (emas yang terbakar) menggumpal atau serpihan-serpihan tipis. Terkang ditemukan serpihan-serpihan perahu, juga pengayuh (dayung) yang gagangnya kebanyakan berbentuk bulan sabit beserta tembingkar dari tanah yang kebanyakan sudah tidak utuh lagi. Para pendulang bersepikulasi apabila ketika menggali menemukan alat-alat seperti ini kemungkinan besar apa yang mereka kerjakan mengandung emas yang dicari-cari.
Entah bagaimana awalnya penduduk asli kampung tahu bahwa tanah mereka mengandung emas. Kemungkinan ketika mereka menggali tanah untuk membikin bedengan atau meninggikannya sering mendapatkan emas. Hingga satu atau dua orang mencoba mencarinya dengan menggunakan alat seadanya, seperti baskom, wajan atau kuali dan apa saja yang bisa digunakan untuk tempat mengancurkan tanah. Dan ternyata mereka mendapatkan apa yang mereka cari.
Tersebarlah berita, dari mulut ke mulut. Awal-awal hanya di sekitar kampung, lama kelamaan meluas hingga ke daerah-daerah lain, hingga banyaklah orang-berdatangan. Saya masih ingat orang membawa apa saja sebagai wadah untuk menghancurkan tanah, terutama alat-alat yang saya sebutkan di atas.
Mula-mula orang menghancurkan tanah hanya dengan mengadonnya dengan tangan, kemudian mereka membikin peti-peti dari kayu. Tanah tidak lagi dihancurkan dengan tangan, melainkan diinjak-injak dengan kaki sampai lunak dan menjadi bubur sampai akhirnya tinggal pasir agar emas dapat terlihat.
Belakangan para pendulang sudah mengunakan mesin dan alat penyedot untuk menghancurkan tanah dengan kapasitas yang lebih besar, seiring dengan itu pula emas sudah mulai sulit didapatkan.
Saya sudah sampaikan di awal tulisan ini bahwa emas yang dicari di sini bukanlah emas alam, tetapi emas yang sebagian besar dalam bentuk jadi atau paling tidak emas yang melebur karena hangus terbakar. Konon, ratusan tahun yang silam di sini telah berdiri sebuah kerajaan yang cukup besar dengan kekayaan yang melimpah. Rakyatnya hidup makmur yang dipimpin oleh seorang raja perempuan bernama Nyai Undang.
Nama kampung saya ini adalah Handil Kuta, di sebelah Selatan, sekitar satu kelometer terdapat juga Handil Bataguh, kedua handil ini hanya berbeda RT saja. Saat ini orang lebih mengenalnya dengan Kuta Bataguh. Terletak di Kelurahan Pulau Kupang, Kecamatan Bataguh Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Saya baru tahu setelah mencari di internet tentang legenda Nyai Undang bahwa istilah "kuta" berarti "benteng" dan "bataguh" berarti "kuat". Jadi Kuta Bataguh berarti "benteng yang diperkuat".
Untuk legenda Nyai Undang lebih lengkapnya dapat ditelusuri di sini: https://www.infoitah.net/2015/12/legenda-nyai-undang-pertempuran-kuta-bataguh.html?m=1
Tapi saya kira informasi yang lebih lengkap tentang Nyai Undang dan Kuta Bataguh-nya ada dalam buku The Lost City: Menelusuri Jejak Nyai Undang Dari Kuta Bataguh Dalam Memori Suku Dayak Ngaju yang ditulis oleh Herry Porda N.P. & M. Z. Arifin Anis & Mansyur. Sayangnya saya juga belum memiliki buku ini, maklumlah budget untuk membeli buku saya sudah ke-ok duluan. Semoga di bulan depan saya dapat memiliki buku ini.
Sisa-sisa kerajaan ini masih dapat terlihat ketika saya masih kecil. Tonggak-tonggak gelondongan dari kayu ulin yang berdiri berjejer rapi berdeameter antara 40 sampai 50 cm dijadikan sebagai benteng pertahanan kerajaan. Sebagian besar kayu-kayu ulin ini sudah tinggal sebatas tanah karena terbakar api. Sebagian warga juga mengambilnya untuk dijadikan sebagai bahan untuk membuat rumah.
Sisa-sisa peninggalan sejarah ini semakin hancur ketika orang-orang berdatangan untuk mencari emas di dalam lokasi bekas kerajaan yang luasnya berpuluh-puluh hektar (menurut laporan petugas dari Provinsi Kalteng yang datang pada akhir Agustus 2017 lalu melakukan analisis  terhadap Kuta Bataguh luasnya mencapai 5.000 meter persegi). Walaupun ada kepercayaan lokal di masyarakat bahwa segala apa yang ditemukan di sini tidak boleh dibawa ke laur, apabila dibawa akan menjadi malapetaka baginya. Namun tetap saja tidak menghalangi situs ini dari kehancuran, disamping tidak adanya edukasi dari pihak yang berwenang.
Gauri Vidya Dhaneswara, analis Potensi Cagar Budaya dan Koleksi Musium bersama Markorius, Kepala Seksi Registrasi dan Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Kalteng dalam laporan Tabengan.com mengatakan bahwa Bataguh pada masanya merupakan pusat perdagangan yang cukup tersohor dan telah berhubungan dengan Tiongkok. Terbukti dengan ditemukannya manik dari Tiongkok.
Baru-baru ini saya melihat di status facebooks kawan sekampung asal saya, bahwa hari Sabtu atau Minggu, 17 &18/02/2018 ini Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran akan mengunjungi situs sejarah yang lama terlantar ini. Baru-baru ini juga telah dibangun jalan darurat menuju ke situs sejarah tersebut. Namun barusan saya mendapatkan kompirmasi bahwa Sabran urung datang, walaupun masyarakat di Kuta Bataguh telah menanti-nanti kedatangannya.
Semoga saja dengan adanya perhatian dari pihak berwenang situs sejarah yang sangat berharga tersebut dapat dilestarikan, sebagai sumber sejarah dan edukasi bagi generasi yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H