Mohon tunggu...
Muhammad Ramli
Muhammad Ramli Mohon Tunggu... Administrasi - Pegiat Leterasi

Sudah Berkeluarga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

The Lost City, Menelusuri Jejak Nyai Undang dari Kuta Bataguh

19 Februari 2018   19:39 Diperbarui: 19 Februari 2018   20:00 1853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dulu sekitar akhir tahun 80-an di kampung kami mendadak ramai didatangi orang-orang dari berbagai daerah, terutama Kalteng dan Kalsel. Apakah gerangan yang orang-orang kerjakan? Apakah yang mengundang mereka datang berduyun-duyun? Laki-laki, perempuan, orang dewasa dan bahkan anak-anak berjibaku, mengeruk lumpur untuk menemukan emas.

Rupanya pancaran logam mulia inilah yang menarik mereka berdatangan tanpa diundang ke kampung kami. Bayangkan saja, di sepanjang kampung, sampai ke pojok-pojok, berederet-deret tenda dari terpal di bangun. Makin hari, semakin banyak orang-orang berdatangan entah dari pelosok mana datangnya.

Sebagaimana kata pepatah, di mana ada gula di situ ada semut, begitulah di kampung kami. Orang-orang berdatangan bukan hanya untuk mendulang emas, tetapi datang juga pedagang-pedagang musiman. Kampung yang asalnya sunyi sepi dengan rutinitas penduduknya sebagai petani, mendadak menjadi hiruk pikuk penuh dengan berbagai kegiatan bahkan sampai ke malam hari. Kampung ini seolah terbangun dari tidur panjangnya.

Warga penduduk asli kampung bahkan sudah lupa bahwa  bahwa pekerjaan mereka adalah bertani. Sawah-sawah dan kebun-kebun sudah ditinggalkan, mereka ikut hanyut dengan aktivitas baru, sebagai pendulang emas. Memang, dibanding bertani atau berkebun warga bisa setiap hari mendapatkan uang dengan menjual emas kepada penadah yang tersebar di kampung, berdamaan dengan berdatangannya pendulang emas.

Konon emas yang didulang disini bukanlah emas alam. Orang-orang mendapat emas sebagian dalam bentuk yang sudah jadi, seperti cincin, kalung, leontin, gelang dan sebagian besar dalam bentuk leburan (emas yang terbakar) menggumpal atau serpihan-serpihan tipis. Terkang ditemukan serpihan-serpihan perahu, juga pengayuh (dayung) yang gagangnya kebanyakan berbentuk bulan sabit beserta tembingkar dari tanah yang kebanyakan sudah tidak utuh lagi. Para pendulang bersepikulasi apabila ketika menggali menemukan alat-alat seperti ini kemungkinan besar apa yang mereka kerjakan mengandung emas yang dicari-cari.

Entah bagaimana awalnya penduduk asli kampung tahu bahwa tanah mereka mengandung emas. Kemungkinan ketika mereka menggali tanah untuk membikin bedengan atau meninggikannya sering mendapatkan emas. Hingga satu atau dua orang mencoba mencarinya dengan menggunakan alat seadanya, seperti baskom, wajan atau kuali dan apa saja yang bisa digunakan untuk tempat mengancurkan tanah. Dan ternyata mereka mendapatkan apa yang mereka cari.

Tersebarlah berita, dari mulut ke mulut. Awal-awal hanya di sekitar kampung, lama kelamaan meluas hingga ke daerah-daerah lain, hingga banyaklah orang-berdatangan. Saya masih ingat orang membawa apa saja sebagai wadah untuk menghancurkan tanah, terutama alat-alat yang saya sebutkan di atas.

Mula-mula orang menghancurkan tanah hanya dengan mengadonnya dengan tangan, kemudian mereka membikin peti-peti dari kayu. Tanah tidak lagi dihancurkan dengan tangan, melainkan diinjak-injak dengan kaki sampai lunak dan menjadi bubur sampai akhirnya tinggal pasir agar emas dapat terlihat.

Belakangan para pendulang sudah mengunakan mesin dan alat penyedot untuk menghancurkan tanah dengan kapasitas yang lebih besar, seiring dengan itu pula emas sudah mulai sulit didapatkan.

Saya sudah sampaikan di awal tulisan ini bahwa emas yang dicari di sini bukanlah emas alam, tetapi emas yang sebagian besar dalam bentuk jadi atau paling tidak emas yang melebur karena hangus terbakar. Konon, ratusan tahun yang silam di sini telah berdiri sebuah kerajaan yang cukup besar dengan kekayaan yang melimpah. Rakyatnya hidup makmur yang dipimpin oleh seorang raja perempuan bernama Nyai Undang.

Nama kampung saya ini adalah Handil Kuta, di sebelah Selatan, sekitar satu kelometer terdapat juga Handil Bataguh, kedua handil ini hanya berbeda RT saja. Saat ini orang lebih mengenalnya dengan Kuta Bataguh. Terletak di Kelurahan Pulau Kupang, Kecamatan Bataguh Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Saya baru tahu setelah mencari di internet tentang legenda Nyai Undang bahwa istilah "kuta" berarti "benteng" dan "bataguh" berarti "kuat". Jadi Kuta Bataguh berarti "benteng yang diperkuat".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun