Mohon tunggu...
Muhamad Rafi Ilham
Muhamad Rafi Ilham Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menyukai Kajian Akademis dan Analitis

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Maqashid Syariah dan Dinamika Hukum: Pelajaran dari Kitab Al-Muwafaqat Karya Al-Syathibi

24 Desember 2024   20:15 Diperbarui: 25 Desember 2024   20:33 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam wacana hukum Islam, maqashid syariah atau tujuan syariah menjadi tema yang semakin relevan di tengah masyarakat yang terus berubah. Gagasan ini pertama kali diuraikan secara sistematis oleh Imam Al-Syathibi (w. 790 H) dalam kitab Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syariah. Kitab ini merupakan karya monumental yang mengubah paradigma fikih dari fokus pada detail teknis menjadi upaya memahami maksud dan tujuan dari hukum itu sendiri.

Artikel ini akan membahas bagaimana konsep maqashid syariah mampu menjembatani ketegangan antara teks syariah dengan realitas kontemporer, serta bagaimana kita dapat mengambil pelajaran darinya untuk menjawab tantangan modern.

Maqashid Syariah: Tujuan Universal dari Hukum Islam

Maqashid syariah didefinisikan oleh Al-Syathibi sebagai tujuan utama dari pemberlakuan syariat, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia di dunia dan akhirat. Dalam pembahasannya, beliau membagi maqashid ke dalam tiga tingkatan:

Dharuriyat (kebutuhan pokok), seperti perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Hajiyat (kebutuhan pelengkap), yaitu kebutuhan yang meskipun tidak mendesak, membantu manusia menjalani hidup dengan nyaman.

Tahsiniyat (kebutuhan penyempurna), yang berfokus pada hal-hal yang meingkatkan estetika dan etika kehidupan.

Ketiga kategori ini menunjukkan bahwa hukum Islam tidak hanya bersifat ritualistik, tetapi juga berorientasi pada kesejahteraan manusia secara holistik.

Teks dan Realitas: Ketegangan dalam Praktik Hukum

Al-Syathibi menegaskan bahwa maqashid syariah tidak bertentangan dengan teks, tetapi sebaliknya, keduanya saling melengkapi. Dalam Al-Muwafaqat (cetakan Dar al-Kutub al Ilmiyyah, 2003, Jilid 2, hlm. 10), ia menyatakan:   

"إِنَّ الشَّرِيعَةَ إِنَّمَا وُضِعَتْ لِمَصَالِحِ الْعِبَادِ فِي الْمَعَاشِ وَالْمَعَادِ."                                                                                                                                                                                                

Syariat diturunkan untuk kemaslahatan hamba, baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat."

Namun, dalam realitas kontemporer, kita sering melihat perdebatan antara keharusan mematuhi teks secara literal dengan kebutuhan menyesuaikan hukum terhadap situasi modern. Sebagai contoh, hukum riba yang pada masa lalu difokuskan pada praktik eksploitasi kini perlu ditinjau ulang dalam konteks sistem keuangan modern. Apakah bunga bank termasuk riba? Jawaban terhadap pertanyaan ini tidak cukup dengan pendekatan literal, tetapi membutuhkan kajian maqashid.

Maqashid Syariah dalam Konteks Modern

Salah satu contoh penerapan maqashid dalam konteks modern adalah fatwa-fatwa terkait teknologi medis, seperti bayi tabung dan transplantasi organ. Dalam kasus ini, para ulama tidak cukup hanya mengacu pada teks, tetapi juga memperhatikan maslahat yang lebih besar, seperti menyelamatkan nyawa atau membantu pasangan yang tidak memiliki anak.

Imam Asy-Syathibi memberikan metode untuk menilai kemaslahatan ini, yakni dengan mempertimbangkan dua hal:

Konteks sosial: Apakah suatu tindakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat?

Hikmah syar'i: Apakah tindakan tersebut sejalan dengan tujuan syariah yang melindungi kebutuhan dasar manusia?

Misalnya, dalam Al-Muwafaqat (Jilid 2, hlm. 35) beliau mengemukakan bahwa: 

"إِنَّ الْمَصَالِحَ لَا تَتَعَارَضُ مَعَ أُصُولِ الدِّينِ، بَلِ الدِّينُ جَاءَ لِتَحْقِيقِ الْمَصَالِحِ."                                                                                                                                                               

"Kemaslahatan tidak boleh bertentangan dengan dasar-dasar agama, karena agama itu sendiri diturunkan untuk mendatangkan maslahat."

Relevansi bagi Muslim Kontemporer

Dalam era globalisasi ini, banyak masalah yang muncul tidak dibahas secara eksplisit dalam teks klasik, seperti isu lingkungan, hak digital, atau etika kecerdasan buatan. Di sinilah maqashid syariah menjadi panduan penting untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut.

Misalnya, dalam isu lingkungan, maqashid syariah dapat diterapkan dengan menempatkan perlindungan jiwa (hifz al-nafs) dan harta (hifz al-mal) sebagai landasan untuk mencegah kerusakan alam. Hukum Islam yang menekankan la dharar wa la dhirar (tidak ada kerugian dan tidak boleh saling merugikan) dapat diinterpretasikan sebagai dasar untuk mendukung keberlanjutan ekologis.

Kritik dan Tantangan

Meskipun maqashid syariah memberikan solusi yang fleksibel, pendekatan ini juga menghadapi tantangan, terutama dari kelompok yang lebih konservatif. Mereka sering kali khawatir bahwa peggunaan maqashid dapat membuka pintu bagi liberalisasi hukum Islam. Namun Al-Syathibi sendiri telah memberikan batasan bahwa maqashid tidak boleh digunakan untuk mengabaikan teks yang qath'i (pasti) dan mutawatir (diriwatkan secara luas).

Sebagai contoh, dalam hal kewajiban shalat, tidak ada ruang untuk meninjau ulang berdasarkan maqashid, karena ibadah ini adalah ketetapan pasti yang tidak terkait langsung dengan maslahat duniawi. Namun, dalam masalah muamalah, seperti hukum dagang atau politik, maqashid syariah justru menjadi alat penting untuk menjaga relevansi hukum Islam.

Penutup

Al-Syathibi dalam Al-Muwafaqat telah memberikan warisan intelektual yang tak ternilai. Konsep maqashid syariah yang ia rumuskan mampu menjawab kebutuhan zaman tanpa meninggalkan akar tradisi Islam. Dalam menghadapi tantangan modern, umat Islam perlu kembali menggali maqashid syariah sebagai panduan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

Sebagai refleksi, kita diingatkan pada pesan Imam Al-Syathibi (Jilid 1, hlm. 62):

                                                                                                                                                                                                                                                                               "مَنْ فَهِمَ مَقَاصِدَ الشَّرِيعَةِ، فَقَدْ فَهِمَ لُبَّ الشَّرِيعَةِ."

"Barangsiapa yang memahami maqashid syariah, maka ia telah memahami inti dari syariah itu sendiri."

Semoga pemahaman ini menjadi bekal bagi umat Islam untuk menghadapi tantangan masa depan dengan tetap berpegang pada nilai-nilai universal Islam.

Referensi:

Al-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syariah, cet. Dar al-Kutub al Ilmiyyah, Beirut, 2003.

Abu Ishaq al-Syathibi, Al-I'tisham, cet. Dar Ibn Hazm, 1997.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun