Pada suatu hari dimana aku menempati janji untuk menjelajahi hutan yang tak lain yaitu untuk muncak. Diantara teman-teman ku yaitu ada Dito, Hani, Putra, Abdul, Fatimah, dan aku sendiri. Namaku yaitu Ratih Purwasih, namun teman-temanku memanggil Asih yakni di akhir namaku.Â
   "Pak, aku mau ijin buat pergi ke hutan buat muncak bersama teman-teman." Permintaan ijinku kepada bapak yang hendak mempersiapkan perdagangan, karena ia bekerja sebagai penjual sayuran di pasar. "Tidak usah to nduk, lagian ini masih musim hujan, dan hari tidak begitu baik buat pergi ke dalam hutan buat muncak."
   "Memang ada apa dengan hari pak?" Tanyaku yang masih penasaran dengan jawaban bapak. "Yah karena hari ini juga kan, hari weton dari nenekmu nduk." Anggukan dariku karena dari sebuah desa yang masih begitu menggenggam adanya sebuah primbon. Namun aku tidak menyerah,"Ya udah kalau gitu Asih bantuin bapak dulu ke pasar buat untuk menjual sayuran selama lima hari."
   Senyuman yang meriah dari bapak,"Yang bener nduk, kamu mau bantuin bapak jualan ke pasar?" Tanyanya yang tidak butuh jawaban sebenarnya karena aku sudah menjelaskan di awal tadi, namun karena demi sebuah perijinan aku pun menanggapinya,"Yah pak, Asih mau bantuin bapak untuk jualan sayur di pasar, yang penting di ijinin yah pak..."
   "Yah sudah kalau begitu, yang penting nanti ketika di perjalanan hati-hati saja, karena menurut primbon di daerah kita ketika di hari weton leluhur itu sangatlah tidak bagus untuk berpergian." Yah begitulah asal muasal kenapa di daerahku sangat sulit untuk merasionalkan sebuah kenyataan dan hanya di dapat menurut mbah, atau itulah, inilah, dan akhirnya suka mendahului apa yang seharusnya dikehendaki oleh sang pencipta.
   Hari pagi yang cerah telah menyambut ku untuk semangat bangun, karena juga hari ini adalah dimana aku akan menelusuri hutan bersama-sama temanku. Kemudian aku segera mempersiapkan semuanya barang yang harus di bawa. Setelah selesai akan persiapan kemudian aku menunggu di teras rumah, karena juga di rumah kedua orang tua ku untuk berkumpul.
   Salah satu temanku telah datang yaitu Hani, "Hai Asih, bagaimana dengan persiapanmu? Apakah sudah selesai semuanya?"Â
   "Tentu saja sudah Han, barang-barang yang harus aku bawa juga sudah disini semua." Kemudian di susul dengan hadirnya Abdul yang terlihat begitu semangat untuk menjelajahi alam. "Dimana yang lain, apakah sudah pada datang?"
   "Yah bisa dilihat sendiri kan Dul, ini aja masih kita yang kumpul berarti lainya yah belum." Jawab dari Hani yang merasa bosan karena sebuah pertanyaan yang sudah bisa di jawab dengan keadaan. Begitulah si Abdul suka basa-basi agar tidak saling diam dan saling menyapa. "Sepertinya itu deh mereka." Sahutku yang sudah melihat ketiga temanku yang akan melengkapi personil penjelajah hutan.
   Dikarenakan sudah lengkap tak lupa aku berpamitan kepada ibuku yang masih di dalam rumah, "Bu, Asih mau pamit untuk pergi bersama-sama teman yah bu." Jawaban ibu yang juga memeringati ku, "Ya sudah nduk, hati-hati aja ketika dalam perjalanan karena hari ini merupakan weton dari nenek kamu, semoga semuanya diberi keselamatan yah nduk."
   Namun aku tidak begitu berpikir panjang karena bagiku itu hanyalah sebuah penghormatan saja tidaklah begitu penting jika kita terlalu mempercayai karena yang seharusnya kita percaya yaitu hanyalah kepada sang pencipta saja. "Yah bu, semoga Asih dan teman-teman semua diberikan keselamatan." Jawabku untuk menenangkan hati dan pikiran ibuku, tidak heran juga sih apabila orang tua begitu memperhatikan apalagi seseorang ibu yang begitu sangatlah sensitif dengan semua pergerakan anak-anaknya.
   Semuanya sudah siap untuk melakukan perjalanan akhirnya kita bersamaan mengucapkan salam kepada ibuku saja, karena bapak telah dahulu pergi ke pasar. Di dalam perjalanan kita sangat menikmati semua suasana yang sangat indah dengan segala cuacanya.
   Akhirnya kita telah sampai pada tempat yang kami tuju. "Bagaimana perjalanan tadi teman-teman?" Tanya Putra kepada semuanya. "Yah begitulah, tapi kita tidak boleh menyerah untuk melakukan perjalanannya." Sahutan dari Dito yang memang dialah sumbernya untuk mengadakan perjalanan ini.
   "Sebelum melakukan perjalanan selanjutnya marilah kita berdoa bersama semoga diberikan keselamatan semuanya." Pintaku kepada seluruh teman-teman.Â
   Setelah selesai, kemudian kita lanjut untuk menelusuri hutan meskipun saat sampai lokasi kita disambut oleh keadaan cuaca yang begitu ekstrim, yakni hutan yang begitu terlihat petang dan juga langit begitu mendung. Di dalam perjalanan kita juga saling berkomunikasi agar tetap saling semangat untuk melakukan langkah demi langkah.
   Namun tanpa sepengetahuan diantara dari kita ada yang hilang ketika di beristirahat sejenak. "Dimana Putra? Bukankah tadi ada di belakangmu yah Sih?" Tanya Dito kepadaku. "Aku tidak merasakan apapun, sepertinya dari tadi memanglah masih terasa ada di belakangku."
   Seketika semuanya panik bukan main karena kita berangkat berawal dari lima orang dan kenapa kita malah menjadi empat orang saja. Akhirnya kita semua memutuskan mencari Putra di perjalanan yang telah kita lalui.
   "Put, Putra, dimana kamu?" Semuanya menanyakan keberadaan Putra. Namun tidak ada sahutan sama sekali darinya. Kita juga tak menyerah begitu saja semuanya tetap kompak untuk mencari keberadaan si Putra.
   Hari telah sore, dan kita memutuskan untuk pulang saja karena hutan itu sudah semakin petang dan kita semua juga sudah tidak jadi untuk melakukan perjalanan yang menjadi tujuan kita semuanya.
    Dalam perjalanan pulang kita juga berwaspada satu sama lain agar menjaga keselamatan bersama. Syukurlah sampai tujuan di rumah masing-masing kita masih aman.
    Malam itu Putra telah kembali ke rumahnya yang disambut hangat oleh kedua orang tuanya. Kemudian disitulah keluarga dari Putra merasakan hal yang baik-baik saja. Seolah-olah anak yang kemarin pergi telah kembali dengan utuh.
   "Sebenarnya yang pulang itu bukanlah Putra." Penjelasan dari Dito karena dia suka membaca sebuah buku sejarah. "Yang bener aja kamu Dit?" Tanyaku kepada Dito.
    Kemudian Dito menyerahkan buku yang dibacanya kepada kita semua, dan dibaca lantang oleh Hani,"Bahwasanya seseorang yang telah hilang di hutan itu dapat ditemukan hanya 10 % saja yang lainnya tidaklah pasti." Dan memanglah dari perjalanan kita itu sudah kurang lebih dari 10 hari.Â
   "Terus bagaimana ini Dit? Apa yang harus kita lakukan?" Tanya Abdul yang belum begitu mengetahui caranya. "Kita mending bertanya kepada Pak Gito, kelihatannya dia kan juga sesepuh yang paham akan primbon di daerah kita."
   "Ya sudah selesai dari sekolah kita langsung saja ke sana untuk memecahkan masalah ini. Agar dapat terselesaikan." Jawabku yang begitu berharap agar segera semuanya baik-baik saja.Â
  "Kalau begitu kita lihat dulu keberadaan Putra di rumahnya, dan berikan sesajen ini untuknya tapi hanya ada Putra saja di sana." Penuturan dari pak Gito setelah kita menjelaskan permasalahan. "Baik pak kalau begitu kita lakukan segera." Semangat itu Abdul kepada kita semua.
   Setelah dirasa suasana terlihat aman kita letakkan sesajen itu di dalam kamar Putra, namun ketika sudah meletakkan kami dikagetkan dengan keberadaannya yang tiba-tiba dari belakang kita.
   "Mau ngapain kalian kesini?" Namun semua telah gugup dengan kehadirannya. "Tidak apa-apa ogh put, kami cuma mau menengok kamu saja." Karena kami semua kelihatan ketakutan dengan wajah pucatnya akhirnya kita langsung saja pulang.
   Keesokan hari kita berempat langsung ke rumahnya pak Gito kembali untuk menjelaskan mengenai hal yang kemarin telah kita lakukan. " Kalau begitu sekarang coba kalian lihat kembali sesajen itu, apabila ada yang telah berkurang maka kembalilah ke rumah saya." Pinta pak Gito kepada kami semua. Tanpa sebuah aba-aba kami langsung melakukan apa yang telah di ucapkan pam Gito.
   Sesampainya di rumah Putra kami melihat kembali sesajen yang telah kami letakkan itu, namun dibuat kaget kembali dengan suara pintu yang baru saja terbuka, kemudian kami keluar dari kamar Putra saat itu pula. "Ada apa nih kalian ke kamar Putra." Tanya bapaknya Putra yang habis pulang dari kebun. "Hmmmm....tidak ada apa-apa ogh pak, kami cuman mau melihat kepastian dari Putra saja."
   Sebenarnya kami sudah sempat menyampaikan dengan adanya keadaan Putra namun respon dari kedua orang tuanya tidak begitu di respon, karena mereka menganggap bahwa tidak ada yang terjadi apa-apa kepada Putra. "Ini kan yang kalia cari disini hari ini, nih aku kembalikan kepada pak Gito untuk tidak usah ikut campur urusan ini." Kami pun langsung pulang ke rumah pak Gito.
   Belum sampai ke rumah pak Gito, sesajen yang kami bawa tumpah ke tanah karena roda motornya Abdul terguling oleh kerikil. Setelah kami mengamati wadah sesajen itu ada yang aneh bahwa ada yang kurang. "Ini ada yang kurang dari yang kita bawa kemarin yah?" Tanya dari Hani menyadarkan kita semua.Â
  Sampai di rumah pak Gito dan darinya mengatakan,"Ini ada yang tidak beres, sebentar saya ambil baskom dahulu." Kemudian dilihat lah dari dalam baskom itu, seolah-olah ada jawaban di dalam sana. "Kalau saya lihat ini dia itu pergi di hari weton bapaknya dan hal ini harus segera dilakukan ruwatan." Pintanya kepada kita semua. Namun jika dipikir-pikir hal serupa juga aku lalui hanya saja tidak begitu terlalu aku pikirkan mendalam.
   "Biarlah saya saja yang mengatakan hal ini kepada orang tua Putra, nanti kalian ketika ruwatan telah dilakukan kembalilah kemana kalian pergi bersama dan carilah jasadnya." Pesan dari pak Gito yang telah paham mengenai perihal primbon
    "Baik pak." Setelah kami berpamitan bersama, pak Gito langsung bertamu kepada keluarga Putra. Setelah esok harinya kita telah di beri informasi lagi dari pak Gito mengenai hal kemarin.
   "Sebenarnya dari pihak keluarga Putra menolak dengan adanya ruwatan, namun setelah saya bernegosiasi panjang akhirnya diperbolehkan dan hal ini harus dilakukan segera mungkin. Besok pagi sebelum acara di mulai kalian ke tempat saya dahulu yah." Pesan dari pak gito kepada kita semua.
   Sebelum dimulainya acara kita telah datang ke rumah pak Gito, "Kalian hati-hati aja kalau mau mencari meskipun itu kesalahan dari kalian bersama." Dengan penuh harapan bersama, "Baik pak, kita akan cari bersama-sama."Â
   Saat itu sosok yang menyerupai Putra dibawa ke acara untuk melakukan ruwatan. Dan disaat jasad dipanggil oleh Dalang dalam pewayangan ada yang aneh dengan muka Putra yang begitu pucat dan suara yang sangatlah bukan Putra.
   Kami pun terus melakukan pencarian hingga sore hari. Hani pun berteriak histeris karena telah menemukan jasad dari Putra. "Mari kita bawa segera pulang jasadnya." Ajak Dito kepada kita semua. Setelah sesampainya di acara semua orag tertuju pada kita dan dari keluarga juga menangisi kepergian sang anak.
   Dari sinilah kita tidak bisa menganggap sepele adanya paham empirisme atau sebuah pengalaman itu lebih kuat dibandingkan dengan adanya rasionalisme. Maka dari itu kita hanya sebisa mungkin untuk sekedar menghormati semboyan mereka saja dan jangan sampai menyinggung perasaan orang yang kuat akan paham pengalaman.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H