Menurut Nuhrizal, dalam banyak kasus penadahan, terdakwa penadah sering kali tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan tindak pidana, melainkan hanya membeli atau menyembunyikan barang hasil kejahatan. Dalam hal ini, splitsing dapat digunakan untuk memisahkan perkara antara pelaku utama (misalnya, pelaku pencurian atau perampokan) dengan penadah yang membeli atau menyembunyikan barang hasil kejahatan.
Contoh Penerapan Splitsing pada Kasus Penadahan
Misalnya, dalam kasus pencurian mobil, seorang pelaku utama mencuri kendaraan dan menjualnya kepada penadah. Penadah, dalam hal ini, hanya membeli mobil curian tanpa mengetahui sepenuhnya bahwa mobil tersebut adalah hasil tindak pidana. Jika perkara ini tidak dipisahkan, penadah mungkin akan diperlakukan sama dengan pelaku utama pencurian dan dikenakan hukuman yang setimpal dengan tindakan pencurian. Namun, dengan splitsing, perkara penadah akan dipisahkan, dan ia dapat dihukum sesuai dengan tingkat keterlibatannya, yang biasanya lebih ringan dibandingkan dengan pelaku pencurian.
Nuhrizal berpendapat bahwa pemisahan perkara ini akan memberikan keadilan yang lebih besar bagi penadah yang mungkin tidak memiliki niat jahat yang sama dengan pelaku utama. Jika perkara penadahan digabungkan dengan perkara pencurian, maka penadah bisa saja diperlakukan secara tidak adil, dengan hukuman yang lebih berat daripada yang seharusnya.
Selain itu, Nuhrizal juga menekankan pentingnya pemahaman yang jelas antara penadahan yang sengaja dilakukan dan penadahan karena kelalaian. Misalnya, seorang pembeli barang yang tidak menanyakan asal-usul barang bisa jadi tidak mengetahui bahwa barang tersebut adalah hasil kejahatan. Dalam hal ini, splitsing dapat membantu memisahkan antara penadah yang memang tahu atau patut menduga bahwa barang tersebut hasil kejahatan dengan mereka yang tidak mengetahui hal tersebut.
Kesimpulan
Splitsing dalam hukum pidana, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan banyak terdakwa dengan peran yang berbeda, merupakan alat yang efektif untuk memastikan bahwa proses peradilan berjalan lebih adil dan efisien. Dalam kasus penadahan, seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Nuhrizal, S.H., splitsing sangat diperlukan untuk memisahkan antara pelaku utama yang melakukan kejahatan dan penadah yang hanya menerima atau membeli barang hasil kejahatan. Dengan demikian, hakim dapat memberikan hukuman yang proporsional sesuai dengan peran setiap terdakwa, tanpa mencampuradukkan tingkat keterlibatan yang berbeda.
Penerapan splitsing ini dapat memastikan bahwa keadilan ditegakkan dengan lebih tepat, sehingga sistem peradilan pidana tidak hanya menghukum, tetapi juga memberikan perlakuan yang lebih adil sesuai dengan kontribusi masing-masing pihak dalam tindak pidana yang terjadi. Meskipun demikian, penerapan splitsing harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak menambah beban pada sistem peradilan atau menyebabkan ketidakpastian hukum bagi para pihak yang terlibat.
Dengan demikian, splitsing dalam hukum pidana memiliki peran yang sangat penting untuk menjaga keadilan dan efisiensi dalam proses peradilan, khususnya dalam perkara yang melibatkan penadahan dan tindak pidana yang kompleks lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H