di kota ini
sepi kembali menghampiriku
sebagaimana bertahun-tahun rindu
menggerumut seperti lumut
di malam yang ngelangut
sementara rukuk dan sujudku
belum sampai di alamatmu
allahu akbar!
saat masjid-masjid riuh
mengusir jenuh
aku dengar suaramu
melayang-layang di udara
sementara orang-orang terus berpesta pora
menyalakan spiker di mimbar-mimbar
ulama dan cendekia berkoar
melaga kata
melego makna
menumbuhkan api
di hati jelata
Â
di kota ini
sepi menggulungku
bersama birahi yang menderu
allahu akbar!
jutaan ranjang besar
digeriuti lenguh peselingkuh
sementara orang-orang
menjual nama dan alamatmu
sepanjang trotoar
sambil menari liar, mabuk dalam masyuk
hasrat binal, menenggak berbotol-botol ayat
o, syahwat, mengapa kau bawa khianat
para pencerah di televisi
sementara doa
hanya jadi remah roti
di bawah kursi
Â
di kota ini
aku menjadi gelandangan
yang nyaris kehilangan harapan
kecuali dari angin yang lirih
hinggap di bibirku
menggapai-gapai
namamu
Â
Jakarta, 8 juli 2014
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H