di sudut buntu
aku memanggilmu
setelah sekian lama
aku merangkak-rangkak buta
mencari alamatmu
namun tak satu pun kota
yang mengingatmu
atau menuliskan rindu
di rambu-rambu
Â
suara siapa yang menyeru-nyeru
sementara spiker-spiker terus menyanyikan lagu
merayu atau menipu
aku tak tahu
tiba-tiba aku
merasa beku
merasa lapar
merasa ngilu
adakah kamu
di situ
dalam doa lirih
mereka yang dicemaskan
oleh rayu
dan berkeras menegakkan harap
meski hampir layu
Â
aku rindu kamu
aku rindu kamu
aku terus mengetuk
meski riuh hujan tak henti mengutuk
jalanan kota
jadi batu
yang menyumpal kuping-kuping
dengan ribuan klakson
dan umpatan
Â
mungkin rumah-rumah mulai kosong
setelah orang-orang menetaskan kecoak
di ranjang
anak-anak jadi ilalang
tumbuh liar di tembok dan halaman
mencarimu
sepertiku
Â
aku menyaksikan hutan
tanpa pohonan
tanpa hewan
tanpa sunyi
tanpa cahaya temaram
tanpa kamu
dan aku melata
seperti cacing
di kilau lantai porselen
menggapai-gapai cahaya
yang memantul
dari matamu
: tuhanku,
ini aku
terbunuh
ngilu
rindu
mu
Â
Jakarta, 8 juli 2014
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H