(05/02/2022)- Isu mengenai Komunisme sudah bukan rahasia umum lagi menjadi salah satu isu sensitif yang ada di benak masyarakat Indonesia. Jauh sebelum Indonesia merdeka tahun 1945 dan jauh sebelum adanya peristiwa Gerakan 30 September 1965, Partai Komunis Indonesia sudah hadir sejak tahun 1914 kala itu organisasi Islam terbesar di Hindia-Belanda yakni Sarekat Islam yang awalnya bernama Sarekat Dagang Islam yang fokus pada perdagangan beralih menjadi organisasi politik sejak tahun 1912 di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Yang juga merupakan murid sekaligus mantan besan dari Soekarno.Â
Komunisme mulai hadir ketika beberapa orang anggota Sarekat Islam, seperti Semaun, Muso,Alimin dan Darsono mulai disusupi oleh paham yang berasal dari Moskow ini. Tahun 1928 PKI melakukan perlawanan dibawah pimpinan Muso tujuannya tentu agar bisa bebas dari pemerintah kolonial.
PKI sendiri, merupakan pecahan dari Sarekat Islam yang kemudian terpecah menjadi SI Putih ( Agamis) dan SI Merah ( Komunisme). Tahun 1914 Partai Komunis Indonesia didirikan tahun 1914 oleh Henk Sneevliet kala itu namanya bukan PKI namun Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV).
Perlu digarisbawahi pada dasarnya PKI, secara langsung turut pula dalam upaya perlawanan melawan penjajah kolonial baik sejak era kolonial Belanda, Jepang bahkan masa revolusi sampai menjelang lengsernya Orde Lama tahun 1965 citra PKI menjadi buruk karena pembantaian para petinggi TNI dan satu anggota Polri.
Hal ini didasarkan pula pada adanya keinginan dari Soekarno untuk menyatukan tiga ideologi secara sekaligus yaitu Nasionalisme, Agama, dan Komunisme ( NASAKOM).
Isu adanya kedekatan Soekarno dengan PKI selepas adanya peristiwa 1965 dianggap sebagai salah satu kelemahan dari Orde Lama. Tahun 1966 merupakan akhir dari berdirinya organisasi yang dipimpin oleh Dipa Nusantara Aidit ini. Melalui Surat Perintah Sebelas Maret ( Supersemar) Soeharto membubarkan partai tersebut, serta ribuan bahkan jutaan orang yang diduga sebagai simpatisan PKI meskipun belum terbukti simpatisan dibantai begitu saja.
Stigma buruk terhadap PKI juga semakin diperkuat oleh hadirnya film bertajuk " Pengkhianatan G30S/PKI yang dibuat tahun 1984 di masa Orde Baru. Film ini sendiri menonjolkan sisi kebengisan PKI dan menonjolkan Soeharto sebagai salah satu tokoh penting dalam upaya penghapusan PKI beserta paham Marxisme dan Leninisme semakin mendapatkan citra buruk oleh masyarakat.
Selain itu, masyarakat juga diwajibkan untuk menonton film berdurasi lebih dari dua jam tersebut, sehingga anak-anak yang menonton tersebut justru menjadi takut dan secara tidak sadar terdoktrin eh film yang disutradarai oleh Arifin C. Noer tersebut. Film ini menjadi tontonan tetap masyarakat sejak tahun 1984-1985 sampai tahun 1997 yang disiarkan oleh Televisi Republik Indonesia ( TVRI).Â
Jika disebut ini merupakan salah satu upaya menjadikan film sebagai alat propaganda alias politik film begitu M. Arief Syarief menyebutnya dalam buku "Politik  Film di Hindia Belanda".
Kembali kepada permasalahan pernyataan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa yang menyebutkan bahwa keturunan dari PKI diperbolehkan untuk mendaftar sebagai tentara karena tidak adanya larangan atau aturan yang mengatur untuk melarang keturunan PKI untuk menjadi tentara.
Dalam TAP MPRS/ XXV/1966 yang dilarang adalah paham atau ideologinya bukan keturunannya. Seperti dilansir dari KompasÂ
TAP MPRS XXV/1966 mengatur tentang "Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme".
Jadi pada dasarnya polemik yang terjadi di tengah masyarakat merupakan stigma yang sudah tertanam sejak 1965 yang merasa trauma dari peristiwa tersebut sekaligus pula di doktrin melalui film bertema PKI yang dibuat oleh Perum Produksi Film Negara ( PPFN).
Saya rasa dibalik adanya pro kontra di masyarakat Jenderal Andika Perkasa, justru ingin agar semua masyarakat Indonesia mendapatkan kesetaraan yang sama sesuai dengan sila terakhir Pancasila yaitu " Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".
Dan dari sini pula bisa dilihat bahwa masyarakat Indonesia masih perlu belajar banyak untuk menyikapi peristiwa bersejarah dan dalam peristiwa sejarah harus dilihat dari berbagai sisi agar lebih jeli sekaligus lebih paham mengenai segala sesuatu peristiwa masa lampau yang berguna bagi masa kini dan masa depan sebagai sebuah pembelajaran agar tidak mudah dipecah belah oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.
Jangan selalu dikaitkan dengan PKI, karena tidak ada seorangpun di dunia ini yang bisa memilih untuk dilahirkan dan memilih orangtuanya sendiri. Jadikan pernyataan Jenderal Andika Perkasa sebagai momentum rekonsiliasi atau saling memaafkan namun tidak melupakan peristiwa sejarahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H