Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM)Â melakukan Judicial Review 3 (tiga) undang-undang sekaligus; diantaranya Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan pertama Undang-undang Nomor 1 tahun 2015 Tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.Â
Sekira 6 bulan yang lalu tepatnya bulan september 2019, Perkumpulan UntukKemudian diregistrasi oleh Mahkmah Konstitusi dengan Nomor: 55/PUU-XVII/2019 yang pada pokoknya Perludem memohonkan MK menyatakan bahwa satu-satunya model pemilu serentak  konstitusional adalah "Pemilu serentak nasional" yang betujuan untuk memilih Presiden dan wakil presiden, memilih anggota DPR-RI serta memilih anggota DPD-RI, lalu setelahnya dilaksanakanÂ
"Pemilu serentak daerah" yang bertujuan untuk memilih Anggota DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota, memilih Gubernur, Bupati dan Walikota dengan jangka waktu setelahnya (serentak nasional ke-serentak daerah) selama 2 (dua) tahun.Â
Karena Perludem mengajukan permohonan satu model pemilu serentak maka dengan sangat tegas Mahkamah Konstitusi Menolak permohonan Perludem yang mengajukan model pemilu serentak satu-satunya tersebut. Hal tersebut tertuang dalam Putusan MK Nomor : 55/PUU-XVII/2019 yang dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi Pada tanggal 26 februari 2020.
Membaca Pertimbangan MK
Pasca putusan MK 55/PUU-XVII/2020 tersebut sontak saja seluruh pegiat pemilu, civil society serta penyelenggara terjun dalam diskusi yang renyah dan menggairahkan bak 'penampakan' gitaris modern handal ditengah konser musik klasik, yan nampak menjajikan 'sesuatu yang lain' atau pilihan-pilihan baru ditengah melodi yang menoton para gitaris kalsik tersebut.
Bagi penulis membaca putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2020 yang diajukan PERLUDEM ini, membuat diri harus memflashback lagi putusan MK Nomor : 14/PUU-XI/2013 yang dimohonkan oleh Effendy Ghazali tentang keserentakan pemilu yang berujung pada dikenalnya istilah "rezim Pemilu" yaitu pemilihan Presiden dan wakil presiden, DPR-RI, DPD-RI, DPRD Provinsi dan DPRD kab/kota atau dengan sebutan lain yaitu pemilu 5 Kotak, sebagaimana telah dilaksanakan pada tahun 2019 lalu dengan landasan regulasinya yaitu Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.Â
Kedua dikenal pula istilah "rezim Pemilihan" yang bertujuan Memilih Gubernur, Bupati dan Walikota dengan landasan rgegulasinya yaitu Undang-undang Nomro 10 tahun 2016 sebagaimana telah diubah 2 kali. Sebagimana telah diketahui Pemilihan ini telah dilaksanakan 4 (empat) gelombang sejak putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 dan penggelombangan ini juga tidak terlepas dari putusan MK dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tersebut.Â
Dalam bacaan penulis, pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 55/PUU-XVII/2020 mahkamah ingin menyatakan secara tersirat bahwa sebaiknya para pegiat pemilu, Civil Society, dan penyelenggara Pemilu tidak lagi memisahkan rezim Pemilihan dan rezim pemilu tentu pesan ini lebih dikhusukan kepada para pembuat Undang-undang (Eksekutif dan Legislatif).
Ditempat lain, ada yang menarik terkait dengan pertimbangan hukum Mahkamah konstitusi tersebut yang penulis katakan sebagai "bak gitaris Modern Handal" ditengah konser gitaris klasik, mengapa demikian?Â
Bagi penulis tak berlebihan jika selama ini anggapan sebagian besar para pegiat pemilu dan demokrasi bahkan para penyelenggara pemilu telah condong kepada arus berfikir linear atau dalam aliran hukum disebut arus berfikir monisme.Â
Yaitu arus berfikir 'satu-satunya' sebagaimana pokok permohonan yang dimohonkan oleh PERLUDEM tersebut, yang meminta agar MK menafsirkan bahwa "satu-satunya" model pemilihan Umum serentak yang konstitusional adalah pemilihan umum serentak nasional dan serentak daerah dimana yang dimaksud serentak daerah adalah bersamaan pemilihan DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/Kota, Gubernur dan Bupati/Walikota.Â
Padahal faktanya MK Menolak pokok permohonan tersebut dan meluaskan "ide" kita tentang Pemilu serentak nasional tersebut dengan batasan-batasan yang Logis.
6 (Enam) Pilihan MK Dan Batasan-Batasannya
Ada yang menarik dalam Putusan MK Nomor : 55/PUU-XVII/2019, meskipun menolak pokok permohonan PERLUDEM, namun MK tidak melepas begitu saja putusannya ditafsir "liar" oleh siapapun termasuk pembuat Undang-undang (Ekseskutif dan Legislatif) tersebut. MK tahu persis bahwa setiap orang dapat membaca putusan tersebut dalam perspektif (sudut pandang) yang berbeda-beda.Â
Olehnya itu MK "seketika itu juga" Â dalam putusannya langsung membatasi para pembuat Undang-undang dengan 6 (enam) model pemilu serentak antara lain adalah :Â
- Pemilu serentak nasional (memilih DPR, DPD, Presdien dan wakil presiden,) yang bersamaan dengan pemilu serentak lokal untuk memilih DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota;
- Pemilu serentak nasional (memilih DPR, DPD, Presdien dan Wakil Presiden) yang bersamaan dengan pemilu serentak lokal untuk memilih Gubernur, Bupati dan Walikota;Â
- Pemilu serentak untuk memilih DPR-RI, DPD, Presdien dan wakil presiden, bersamaan dengan memilih DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota, Gubernur, Bupati dan Walikota ( Pemilu 7 Kotak);Â
- Pemilu serentak nasional untuk memilih (DPR dan DPD serta Presdien dan wakil presiden,) kemudian beberapa waktu setelahnya dilakukan pemilu serentak lokal untuk memilih DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota, Gubernur, Bupati, dan Walikota;
- Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presdien dan wakil Presiden) dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak Provinsi untuk memilih DPRD Provinsi dan memilih Gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan DPRD Kab/Kota dan memilih Bupati dan Walikota. Atau penulis sebut pemilu 3 tingkat  (Nasional, Provinsi dan Kabupaten); serta
- Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan Umum untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden.
Selain enam pilihan diatas Mahkamah juga memberi pertimbangan kepada pembentuk Undang-undang untuk diperhatikan tentang 5 (lima) hal yaitu :Â
- Pemilihan model yang berimplikasi terhadap perubahan Undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas penyelenggaraan pemilihan Umum;Â
- Kemungkinan perubahan undang-undang terhadap pilihan model-model tersebut diatas dilakukan lebih awal, sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benar efektif dilaksanakan;
- Pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi tekhnis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas;Â
- Pilihan model selalu memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat; dan
- Tidak acap kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilihan umum.
Memilih Model Pemilu Serentak Kita;
Dari banyak putusan MK yang penulis baca dan diskusikan, saya mesti jujur bahwa putusan MK nomor 55/PUU-XVII/2019 adalah salah satu putusan yang cukup menggembirakan penulis. Mengapa?Â
Karena bagi penulis MK lagi-lagi tidak hanya mempertimbangkan soal menerima dan menolak permohonan pemohon dengan dalil-dalilnya namun lebih dari itu, secara rigit dan tuntas menerangkan Memori Van Toelighting (MvT) tentang perdebatan para pengubah Undang-undang Dasar.
Dalam keinginannya menerapkan model pemilu yang konstitusional, kedua; MK juga langsung memberi "pagar tafsir" tentang model dan prinsip-prinsipnya agar dalam menyusun Undang-undang (bagi para pembentuk Undang-undang) tidak lagi terjebak pada perdebatan yang tidak substansial dan esensial.Â
Artinya Mahkamah faham betul keinginan dan kegundahan masyarakat jika "seandainya" putusannya hanya terkait hal yang dimohonkan saja, tanpa mau sedikit berfikir tentang pemberian batas-batas tafsir model seperti yang telah dituangkan dalam putusannya tersebut.
Akhirnya bagi penulis jika menyelami sanubari sebagai penyelenggara yang turut serta terlibat dalam pergolakkan dinamika pemilu dan pilkada, tentu pilihan-pilihan seperti pilihan ke-3 (tiga) dalam putusan Mahkamah yaitu pemilu serentak DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur, Bupati dan Walikota atau dengan kata lain pemilu serentak 7 (tujuh) Kotak akan sangat melelahkan meskipun tidak 'musykil' untuk terjadi jika benar-benar pembuat undang-undang menginginkannya.Â
Artinya bagi penulis dengan 5 (lima) batasan yang diuraikan oleh Mahkamah serta 6 (enam) pilihan yang gariskan dalam putusan tersebut penulis condong untuk memilih pilihan mahkamah nomor 4 (empat) yaitu pemilihan serentak nasional untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden.
Kemudian beberapa saat setelahnya melaksanakan pemilihan serentak lokal untuk memilih DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota serta Gubernur, Bupati dan Walikota; pilihan ini tentu bukan tanpa perdebatan, apalagi jika memakai argumen para pendebat "setiap sesuatu ada dalilnya, dan setiap dalil ada bantahannya" maka tak mungkin satu objek diskusi lepas dari perbedaan pendapat apalagi pendapat hukum yang mengenal adagium "Noch Suchen die Jurichten eine definition zu Ihrem beghriffe von recht". Â
Namun bagi penulis memilih pilihan tersebut minimal dengan alasan bahwa, pertama; dengan pemilu lima kotak saja fenomena kekisruhan plus fakta meninggalnya penyelenggara telah sangat mengguncang kita semua apalagi dengan 7 (tujuh) kotak secara bersamaan, kedua; bahwa selaras dengan argumen pemohon perludem saat pemilu serentak 5 (lima) kotak, dimana pilpres berbarengan dengan serentak lokal, isu-isu kesejahteraan lokal yang diharapkan diuji dalam wacana caleg lokal "tertimbun" isu masyarakat yang lebih tertarik membicarakan pilpres ketimbang isu lokal.Â
Ketiga; bahwa sudah saatnya legislator daerah berpisah kampanye dengan legislator pusat agar masyarakat lebih fokus menguji kualitas legislatif yang akan mewakili aspirasinya, dibanding bersamaan.Â
Kadang kampanyenya juga bersamaan, kualitas caleg lokal selalu mampu ditutupi oleh caleg nasional yang sudah barang tentu punya kualitas yang mumpuni. Belum lagi soal Gubernur, Bupati dan Walikota yang dibarengkan dengan legislatif. Hemat penulis akan lebih efektif untuk menguji konsistensi partai pengusung caleg dan cagub/cabup serta cawali.Â
Kadangkala dalam penyusunan koalisi pengusung bakal calon kepala daerah dengan Visi misi para caleg (atau ideologi partai) bertolak belakang dengan visi-misi atau citra yang dibangun oleh para kandidat kepala daerah.Â
Yang satu bicara ketahan pangan serta penguatan komoditi lokal yang bakal calon kepala daerah (bakada) bicara investasi sebesar-besarnya dan penghadiran tambang serta perubahan alih fungsi hutan. Namun mereka tetap bisa saling mengusung dengan dalih yang sangat remeh "politik to ini". Wallahu A'lam Bisshawab. Â
*) Penulis adalah Komisoner BAWASLU Kabupaten Konawe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H