Mohon tunggu...
muhamad ikram pelesa
muhamad ikram pelesa Mohon Tunggu... Ilustrator - Sang Gladiator

Sedetik Melewatkan Kedzoliman, Kita Turut Melahirkan Para Penindas Baru

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Memilih Model Pemilu Serentak

2 April 2020   08:28 Diperbarui: 2 April 2020   08:31 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Indra Eka Putra, SH (Komisioner BAWASLU Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara)

Akhirnya bagi penulis jika menyelami sanubari sebagai penyelenggara yang turut serta terlibat dalam pergolakkan dinamika pemilu dan pilkada, tentu pilihan-pilihan seperti pilihan ke-3 (tiga) dalam putusan Mahkamah yaitu pemilu serentak DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur, Bupati dan Walikota atau dengan kata lain pemilu serentak 7 (tujuh) Kotak akan sangat melelahkan meskipun tidak 'musykil' untuk terjadi jika benar-benar pembuat undang-undang menginginkannya. 

Artinya bagi penulis dengan 5 (lima) batasan yang diuraikan oleh Mahkamah serta 6 (enam) pilihan yang gariskan dalam putusan tersebut penulis condong untuk memilih pilihan mahkamah nomor 4 (empat) yaitu pemilihan serentak nasional untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden.

Kemudian beberapa saat setelahnya melaksanakan pemilihan serentak lokal untuk memilih DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota serta Gubernur, Bupati dan Walikota; pilihan ini tentu bukan tanpa perdebatan, apalagi jika memakai argumen para pendebat "setiap sesuatu ada dalilnya, dan setiap dalil ada bantahannya" maka tak mungkin satu objek diskusi lepas dari perbedaan pendapat apalagi pendapat hukum yang mengenal adagium "Noch Suchen die Jurichten eine definition zu Ihrem beghriffe von recht".  

Namun bagi penulis memilih pilihan tersebut minimal dengan alasan bahwa, pertama; dengan pemilu lima kotak saja fenomena kekisruhan plus fakta meninggalnya penyelenggara telah sangat mengguncang kita semua apalagi dengan 7 (tujuh) kotak secara bersamaan, kedua; bahwa selaras dengan argumen pemohon perludem saat pemilu serentak 5 (lima) kotak, dimana pilpres berbarengan dengan serentak lokal, isu-isu kesejahteraan lokal yang diharapkan diuji dalam wacana caleg lokal "tertimbun" isu masyarakat yang lebih tertarik membicarakan pilpres ketimbang isu lokal. 

Ketiga; bahwa sudah saatnya legislator daerah berpisah kampanye dengan legislator pusat agar masyarakat lebih fokus menguji kualitas legislatif yang akan mewakili aspirasinya, dibanding bersamaan. 

Kadang kampanyenya juga bersamaan, kualitas caleg lokal selalu mampu ditutupi oleh caleg nasional yang sudah barang tentu punya kualitas yang mumpuni. Belum lagi soal Gubernur, Bupati dan Walikota yang dibarengkan dengan legislatif. Hemat penulis akan lebih efektif untuk menguji konsistensi partai pengusung caleg dan cagub/cabup serta cawali. 

Kadangkala dalam penyusunan koalisi pengusung bakal calon kepala daerah dengan Visi misi para caleg (atau ideologi partai) bertolak belakang dengan visi-misi atau citra yang dibangun oleh para kandidat kepala daerah. 

Yang satu bicara ketahan pangan serta penguatan komoditi lokal yang bakal calon kepala daerah (bakada) bicara investasi sebesar-besarnya dan penghadiran tambang serta perubahan alih fungsi hutan. Namun mereka tetap bisa saling mengusung dengan dalih yang sangat remeh "politik to ini". Wallahu A'lam Bisshawab.  

*) Penulis adalah Komisoner BAWASLU Kabupaten Konawe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun