Yaitu arus berfikir 'satu-satunya' sebagaimana pokok permohonan yang dimohonkan oleh PERLUDEM tersebut, yang meminta agar MK menafsirkan bahwa "satu-satunya" model pemilihan Umum serentak yang konstitusional adalah pemilihan umum serentak nasional dan serentak daerah dimana yang dimaksud serentak daerah adalah bersamaan pemilihan DPRD Provinsi, DPRD kabupaten/Kota, Gubernur dan Bupati/Walikota.Â
Padahal faktanya MK Menolak pokok permohonan tersebut dan meluaskan "ide" kita tentang Pemilu serentak nasional tersebut dengan batasan-batasan yang Logis.
6 (Enam) Pilihan MK Dan Batasan-Batasannya
Ada yang menarik dalam Putusan MK Nomor : 55/PUU-XVII/2019, meskipun menolak pokok permohonan PERLUDEM, namun MK tidak melepas begitu saja putusannya ditafsir "liar" oleh siapapun termasuk pembuat Undang-undang (Ekseskutif dan Legislatif) tersebut. MK tahu persis bahwa setiap orang dapat membaca putusan tersebut dalam perspektif (sudut pandang) yang berbeda-beda.Â
Olehnya itu MK "seketika itu juga" Â dalam putusannya langsung membatasi para pembuat Undang-undang dengan 6 (enam) model pemilu serentak antara lain adalah :Â
- Pemilu serentak nasional (memilih DPR, DPD, Presdien dan wakil presiden,) yang bersamaan dengan pemilu serentak lokal untuk memilih DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota;
- Pemilu serentak nasional (memilih DPR, DPD, Presdien dan Wakil Presiden) yang bersamaan dengan pemilu serentak lokal untuk memilih Gubernur, Bupati dan Walikota;Â
- Pemilu serentak untuk memilih DPR-RI, DPD, Presdien dan wakil presiden, bersamaan dengan memilih DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota, Gubernur, Bupati dan Walikota ( Pemilu 7 Kotak);Â
- Pemilu serentak nasional untuk memilih (DPR dan DPD serta Presdien dan wakil presiden,) kemudian beberapa waktu setelahnya dilakukan pemilu serentak lokal untuk memilih DPRD Provinsi dan DPRD Kab/Kota, Gubernur, Bupati, dan Walikota;
- Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presdien dan wakil Presiden) dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak Provinsi untuk memilih DPRD Provinsi dan memilih Gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan DPRD Kab/Kota dan memilih Bupati dan Walikota. Atau penulis sebut pemilu 3 tingkat  (Nasional, Provinsi dan Kabupaten); serta
- Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan Umum untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden.
Selain enam pilihan diatas Mahkamah juga memberi pertimbangan kepada pembentuk Undang-undang untuk diperhatikan tentang 5 (lima) hal yaitu :Â
- Pemilihan model yang berimplikasi terhadap perubahan Undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas penyelenggaraan pemilihan Umum;Â
- Kemungkinan perubahan undang-undang terhadap pilihan model-model tersebut diatas dilakukan lebih awal, sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benar efektif dilaksanakan;
- Pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi tekhnis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas;Â
- Pilihan model selalu memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat; dan
- Tidak acap kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilihan umum.
Memilih Model Pemilu Serentak Kita;
Dari banyak putusan MK yang penulis baca dan diskusikan, saya mesti jujur bahwa putusan MK nomor 55/PUU-XVII/2019 adalah salah satu putusan yang cukup menggembirakan penulis. Mengapa?Â
Karena bagi penulis MK lagi-lagi tidak hanya mempertimbangkan soal menerima dan menolak permohonan pemohon dengan dalil-dalilnya namun lebih dari itu, secara rigit dan tuntas menerangkan Memori Van Toelighting (MvT) tentang perdebatan para pengubah Undang-undang Dasar.
Dalam keinginannya menerapkan model pemilu yang konstitusional, kedua; MK juga langsung memberi "pagar tafsir" tentang model dan prinsip-prinsipnya agar dalam menyusun Undang-undang (bagi para pembentuk Undang-undang) tidak lagi terjebak pada perdebatan yang tidak substansial dan esensial.Â
Artinya Mahkamah faham betul keinginan dan kegundahan masyarakat jika "seandainya" putusannya hanya terkait hal yang dimohonkan saja, tanpa mau sedikit berfikir tentang pemberian batas-batas tafsir model seperti yang telah dituangkan dalam putusannya tersebut.